Dari Kebijakan ke Pertarungan Pribadi: Analisis Media dalam Polarisasi Konflik Elite Gorontalo

Dari Kebijakan ke Pertarungan Pribadi: Analisis Media dalam Polarisasi Konflik Elite Gorontalo
Dr. Imran Kamaruddin, SS., M.I.Kom

60DTK.COM – OPINI: Rentetan pemberitaan yang meliput perseteruan antara Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dan Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, telah menjadi tontonan publik yang mengkhawatirkan. Lebih dari sekadar laporan jurnalistik, narasi yang berkembang di media secara aktif membentuk dan memperdalam polarisasi di tengah masyarakat, menggeser diskursus dari substansi kebijakan menjadi drama personal dan pertarungan antar kubu. Fenomena ini dapat dianalisis melaluibeberapa teori media klasik yang menjelaskanbagaimana narasi dibentuk dan memengaruhi persepsipublik.

Dalam Teori Media dalam Praktik Polarisasi, konflik yang tersaji di media tidak lagi berpusat pada pencariansolusi atas isu-isu krusial bagi daerah. Sebaliknya, ia menjadi contoh nyata bagaimana media berperan sebagai amplifier. Panggung politik Gorontalo saat ini tak ubahnya sebuah pertunjukan drama yang menyita seluruh perhatian. Di atas panggung itu, dua aktor utama, Wali Kota Adhan Dambea dan Gubernur Gusnar Ismail, memainkan lakon perseteruan yang seolah tak berkesudahan. Media, dengan sorotan lampu kameranya, berperan sebagai sutradara yang memastikan setiap babak pertarungan ini tersaji secara dramatis kepada publik. Namun, di balik riuh tepuk tangan dan cemoohan para pendukung, ada naskah asliyang terlupakan: naskah tentang pelayanan publik dan kemajuan daerah.

Bacaan Lainnya

Apa yang seharusnya menjadi diskursus utama kini hanya menjadi catatan kaki dalam pertunjukan. Isu-isu pembangunan kalah menarik dibandingkan narasi “serangan balik”, klaim “pengkhianatan” personal , atau bahkan sekadar cerita siapa menghindari siapa di dalam pesawat.

Media, dalam hal ini, bukan hanya melaporkan, tetapi secara aktif mengamplifikasi drama ini. Dengan membingkai konflik ini sebagai pertarungan pribadi , media mengajak publik bukan untuk berpikir kritis, melainkan untuk berpihak secara emosional. Teknik iniefektif mengubah warga negara menjadi suporter. Terciptalah kubu-kubu yang jelas: “kita” (pendukung Pemkot/Wali Kota) melawan “mereka” (pendukung Pemprov/Gubernur). Loyalitas pada kubu menjadi lebih penting daripada kebenaran atau solusi terbaik bagimasyarakat.

Dampaknya terasa hingga ke sendi-sendi pemerintahan. Ketika energi para pemimpin terkuras untuk saling serang di panggung media, pekerjaan teknis dan fundamental menjadi terbengkalai. Sudah saatnya tirai panggung drama ini diturunkan. Elite politik harus sadar bahwa mereka adalah pelayanan publik, bukan aktor yang mengejar popularitas lewat sensasi. Media memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan sorot lampunya kembali pada substansi, menjadi fasilitator dialog yang konstruktif, bukan sekadar panggung gladiator politik. Dan yang terpenting, masyarakat harus berhenti menjadi penonton pasif. Kemampuan untuk menuntut akuntabilitas nyata dan membedakan antara substansi masalah dengan sensasi drama adalah langkah pertama untuk mengembalikan politik pada hakikatnya: sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sekadar sebuah pertunjukan tanpa akhir.

Dalam teori lain misalnya Teori Penetapan Agenda (Agenda-Setting Theory), media mungkin tidak berhasil memberitahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi sangat berhasil memberitahu kita tentang apa kita harus berpikir. Ada sebuah adagium lawas dalam studi media yang kekuatannya semakin terbukti di era digital: pers mungkin tidak berhasil menentukan apa yang Anda pikirkan, tetapi ia sangat berkuasa menentukan tentangapa Anda berpikir. Teori ini, yang dikenal sebagai Teori Penetapan Agenda (Agenda-Setting Theory), tampak berjalan sempurna dalam panggung politik Gorontalo saat ini.

Melalui rentetan pemberitaan yang intens, media telah berhasil menetapkan “konflik personal elite” antara Wali Kota dan Gubernur sebagai agenda utama di benak publik. Setiap gerak-gerik, pernyataan tajam, hingga sejarah personal kedua tokoh diangkat menjadi tajuk utama, lengkap dengan bumbu drama dan bahasa emosional yang provokatif.

Pertunjukan ini sukses menyita perhatian, namun ada harga mahal yang harus dibayar: matinya dialog tentang isu-isu kebijakan yang nasibnya jauh lebih krusial bagi daerah.

Inilah dampak paling berbahaya dari kekuatan agenda media. Fokus publik secara sistematis dialihkan. Perdebatan publik pun beralih dari pertanyaan substansial seperti “bagaimana solusi terbaik?” menjadi pertanyaan trivial layaknya menonton pertandingan: “siapa yang memulai dan siapa yang akan menang?”. Ruang publik tidak lagi diisi dengan adu gagasan untuk kemajuan, melainkan adu kekuatan untuk supremasipersonal.

Ketika agenda media didominasi oleh konflik, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengawasi dan menuntut pertanggung jawaban atas kebijakan yang sebenarnya. Para elite politik pun, sadar atau tidak, mungkin akan lebih tergoda untuk bermain drama demi merebut perhatian media ketimbang bekerja dalam sunyi untuk menyelesaikan masalah riil. Inilah saatnya publik sebagai konsumen informasi sadar akan agenda yang sedang disajikan dan mulai menuntut media untuk mengarahkan sorotannya kembali pada isu-isu yang benar-benar penting bagi kehidupan mereka. Dampak dari pemberitaan semacam ini sangat jelas, ruang publik yang sehat terkikis. Jika terus-menerus disuguhi politik sebagai drama, publik dapat mengalami apa yang disebut .

Ini adalah momen krusial bagi semua pihak untuk berefleksi. Dengan memahami kerangka kerja media ini, menjadi jelas bahwa tanggung jawab untuk meredam polarisasi tidak hanya terletak pada niat baik para aktor politik untuk menahan diri, tetapi juga pada kesadaran struktural media untuk kembali ke perannya sebagai fasilitator dialog yang konstruktif. Pada akhirnya, masyarakat sebagai konsumen informasi harus lebih cerdas dan kritis. Kemampuan untuk membedakan antara substansi masalah yang nyata dengan sensasi drama yang dibingkai media adalah kunci utama untuk meredam polarisasi dan menuntut akuntabilitas sejati dari para pemimpin yang telah mereka pilih.

Penulis: Dr. Imran Kamaruddin, SS., M.I.Kom

Pos terkait