60DTK, OPINI – “Jujur, saya dilema. Tidak ada role model yang benar-benar bisa saya ikuti. Sebagai anak gubernur sekaligus anggota DPRD Provinsi,”.
Kalimat itu meluncur pelan dari bibir Erwin Ismail saat kami para pimpinan media, duduk melingkar bersamanya malam itu. Ucapannya membuat diskusi santai itu seketika hening. Hening yang tidak canggung, melainkan hening yang menandai sesuatu yang jauh lebih dalam.
Banyak orang melihat posisi Erwin sebagai sebuah keistimewaan. Putra seorang gubernur, tampil rapi di panggung politik, memiliki akses yang tampaknya terbentang luas. Namun dari dekat, narasi itu memudar. Yang tersisa justru wajah seorang lelaki muda yang tengah mencari pijakan di medan yang penuh jebakan.
“Setiap orang datang, saya selalu bertanya dalam hati, ada kepentingan apa kali ini?,” kata Ketua DPD Demokrat Gorontalo itu.
Ia bercerita bagaimana telepon yang berdering, pesan yang masuk, atau tamu yang menghadap, sering kali disertai bayangan motif yang tak pernah sepenuhnya jujur. Ada yang menyinggung proyek, ada yang menghendaki jabatan.
Dalam dunia politik yang penuh ruang gelap, posisi Erwin sebagai anak gubernur membuatnya seperti jalan pintas yang ingin dimanfaatkan banyak pihak.
Namun pergulatan itu tidak berhenti pada motif-motif terselubung. Ketika ia mencoba menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, memperjuangkan perbaikan jalan di kawasan Kota Gorontalo, misalnya, gelombang tudingan datang menyergap.
“Mentang-mentang anak gubernur,” katanya lagi.
Kalimat itu beredar begitu mudahnya, lebih cepat daripada fakta, lebih nyaring daripada niat baik.
Ironisnya, karena kecurigaan itulah sejumlah proyek yang ia perjuangkan akhirnya dialihkan ke daerah lain. Perbaikan jalan Palma misalnya. Demi menghindari prasangka, demi menjaga agar tak ada yang merasa bahwa Ia memanfaatan kedekatan kekuasaan.
Dalam diam, Erwin menelan kenyataan pahit bahwa perjuangan untuk masyarakat pemilihnya sendiri harus ia lepaskan begitu saja.
Ia duduk tegak, tapi matanya menyimpan letih.
Ada saat-saat ketika beban nama besar justru terasa seperti bayang-bayang panjang yang mengikuti ke mana pun ia melangkah. Setiap kebijakan bisa disalahartikan. Setiap niat baik berpotensi dipelintir.
Ia hidup dalam keseimbangan rapuh antara pengabdian dan persepsi, antara loyalitas dan tudingan.
Dilema Erwin Ismail adalah potret kecil tentang bagaimana politik lokal sering kali dipenuhi prasangka-prasangka yang tumbuh bahkan sebelum seseorang diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya.
Bahwa integritas kadang tersisih oleh nama belakang. Bahwa upaya tulus pun bisa dipandang miring hanya karena hubungan darah.
Di tengah percakapan malam itu, Erwin tidak sedang mencari pembenaran. Ia hanya mencoba jujur tentang gelisahnya.
Tentang ruang sempit yang harus Ia tempuh, tentang perjalanannya yang lebih sulit dari yang tampak di permukaan.
Mungkin inilah takdir orang-orang yang lahir dari lingkar kekuasaan. Selalu diawasi, selalu dicurigai, selalu berada di ujung rentang antara harapan dan kecurigaan.
Dan di tengah badai itu, Erwin Ismail tetap melangkah pelan, hati-hati, tapi teguh. Mencoba menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar bayangan dari jabatan ayahnya.
Meskipun saat ini dirinya lebih memilih banyak diam di DPRD Provinsi Gorontalo.






