Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato Menempati Posisi Tertinggi DBD di Gorontalo

Ilustrasi by Sila/60dtk.com

60DTK – Gorontalo: Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato menepati posisi tertinggi angka penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Gorontalo. Bukan hanya tinggi, juga menunjukan tren kenaikan tersebut selama dua tahun terakhir dari tahun 2018 hingga akhir bulan November 2019 kemarin.

Dua kabupaten ini digolongkan sebagai Kabupaten tertinggi angka penderita DBD oleh Dinas Kesehatan (Dikes) Provinsi Gorontalo melalui pengelola program DBD Dikes Provinsi Gorontalo.

Bacaan Lainnya

Menurut data yang dibeberkan kepada wartawan, Kabupaten Gorontalo pada tahun 2018 kemarin, angka penderita DBD-nya mencapai 244 kasus penderita dan menyebabkan kematian sebanyak 4 jiwa, serta Kabupaten Pohuwato angka penderita DBD-nya mencapai 303 kasus penderita dan menyebabkan 2 kematian. Dan Kabupaten Bone Bolango menempati urutan ketiga dengan angka penderita DBD sebanyak 111 kasus dan yang meninggal sebanyak 3 jiwa.

Kemudian pada tahun 2019 hingga bulan Oktober kemarin, data Dikes Gorontalo memperlihatkan Kabupaten Gorontalo dengan angka penderita DBD-nya sebanyak 368 kasus dan menyebabkan 7 kematian, setelah itu Kabupaten Pohuwato dengan sebanyak 274 kasus dan menyebabkan 7 kematian, serta Bone Bolango sebanyak 165 kasus dan tidak ada kematian.

Sunarty Labdjo selaku pengelola program DBD Dikes Gorontalo mengatakan, memang dalam kurun dua tahun terakhir dua kabupaten; Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo paling teringgi dan disusul Bone Bolango.

“Di tahun 2018 dan tersebar di keseluruhan Kabupaten/Kota terjadi kasus penderita DBD sebanyak 906 kejadian dengan 14 kematian, dan kemudian pada tahun 2019 sebanyak 1.092 kasus DBD dengan 22 kematian. Dan paling banyak terjadi di Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo,” ujar Sunarty saat dimintai keterangan data mengenai angka DBD di Gorontalo, di kantor Dikes Provinsi Gorontalo, Jumat (29/11/2019).

Namun, meskipun menunjukan angka yang tinggi setiap tahunnya, menurut dr. Irham Cahyani selaku Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Gorontalo, mengatakan bahwa meskipun sangat tinggi di dua Kabupaten tersebut dalam dua tahun terakhir, belum dikategorikan dalam Kejadian Luar Biasa (KLB), karena penentuan KLB sendiri harus punya beberapa indikatornya.

“Penentuan status KLB sendiri harus dilihat jika pada tahun sebelumnya tidak ada kasus dan pada tahun ini ada kasus, biar hanya satu kasus saja dia bisa dinyatakan KLB. Jadi maksudnya, kalau sebelumnya tidak ada tapi tahun ini ada, itu bisa dikatakan KLB. Yang berikut ada peningkatan kasus lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu yang sama, atau terjadi peningkatan kasus DBD dua kali lipat. Misalnya di tahun ini ada terjadi kasus DBD dan melebihi setahun kemarin atau bahkan seminggu kemarin dia bisa digolongkan jadi KLB, begitu juga dapat dilihat dengan angka kematiannya melebihi 50 persen, dia bisa dikatakan KLB. Jadi berdasarkan itu kita melihat dan menentukan KLB, jadi tahun kemarin berapa? Tahun ini berapa?,” papar dr. Irma Cahyani saat diwawancarai di kantornya, Senin (2/12/2019).

Irma juga mengatakan, bahwa selain indikator yang dijelaskan, penentuan KLB juga harus melalui keterangan atau pernyataan dari seorang kepala daerah yang bersangkutan atau daerahnya yang terkena DBD.

“Sebenarnya data DBD memang tinggi, tapi sebelum ada pernyataan satu kabupaten/kota yang menyatakan KLB  daerah itu belum dikatakan dalam KLB tadi dan pernyataan KLB itu harus dikatakan oleh kepala daerah,” katanya.

Menurutnya lagi, karena belum ada kabupaten/kota yang menyatakan KLB kami menganggap itu peningkatakan kasus, jadi upaya penangananan dilakukan, memberdayakan puskesmas, serta tata laksana dini.

“Karena  semakin terlambat dilakukan risiko kematian semakin tinggi. Masyarakat harus lebih paham apa yang akan dia lakukan, ketika anaknya sakit. Karena DBD ini paling banyak menyerang anak-anak. “

Kata Irma juga, DBD itu tidak ada obat khusus, DBD itu penyebabnya adalah Virus, virus Dengue, jadi virus Dengue ini merusak siklus pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran plasma dalam tubuh. Dan itulah yang menyebabkan bocor semua sehingga menyebabkan orang meninggal.

“Jadi DBD itu tidak ada obat khusus, tidak ada anti virusnya. Penangannya adalah mengganti cairan tadi yang bocor, dengan melakukan banyak minum air bagi yang penderita DBD tersebut.  Apalagi kalau anak-anak sudah tidak mau minum air, jika demikian maka anak tersebut harus di bawa ke puskesmas untuk mengganti cairan yang keluar dengan di infus. Karena pada dasarnya orang DBD itu tidak ada obat khusus yang harus dia minum,  jadi yang harus kita lakukan jangan sampai terkena shock, karena kebocoran plasma itu,” tambahnya dalam wawancara.

Ia juga mengharapkan, penanganan DBD ini bukan hanya diliakukan oleh pihak pemerintah melainkan masyarakat juga turut andil dalam melakukan pencegahan.

“Sebenarnya masyarakatlah yang harus berperan karena mereka langsung yang menghadapinya langsung. Maka dari itu kami dari pihak Dikes selalu menyampaikan betapa pentingnya melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta mulai mengkampanyekan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) untuk setiap keluarga yang dilaksanakan setiap seminggu sekali. Jika program ini terus dilaksanakan dengan baik, maka kedepannya populasi nyamuk dan pencegahan DBD akan mulai berkurang,” tutupnya dalam wawancara.

Penulis: Zulkifli M.

Pos terkait