60DTK, Gorontalo : Aksi cepat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo dalam mengusut kasus Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Pohuwato menjadi bukti tak terbantahkan mengenai matinya penegakan hukum di tingkat lokal. Turunnya tim Kejati ke lokasi tambang milik Haji Suci (HS) seolah menjadi konfirmasi atas apa yang selama ini menjadi rahasia umum: Polres Pohuwato tidak berdaya, atau mungkin tak berniat, menyentuh para penambang ilegal yang merusak lingkungan.
Selama empat tahun terakhir, laporan dari Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) dan para aktivis hanya dianggap angin lalu. Keluhan masyarakat tentang air PDAM yang keruh dan lahan pertanian yang hancur akibat sedimen lumpur galian seakan tak cukup untuk menggerakkan aparat kepolisian setempat. Sikap diam ini menciptakan surga bagi para penambang ilegal untuk beroperasi dengan leluasa, mengeruk kekayaan alam tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Kehadiran Kejati Gorontalo mengubah segalanya. Hanya berselang dua pekan setelah laporan resmi LAI diterima, tim investigasi langsung diterjunkan. Mereka tidak hanya duduk di balik meja, tetapi meninjau langsung ke pusat aktivitas di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia. Temuan alat berat yang masih beroperasi menjadi tamparan telak, menunjukkan bahwa kegiatan ilegal itu nyata dan berlangsung terang-terangan.
Kondisi ini secara gamblang membuktikan bahwa Polres Pohuwato telah “mati suri” dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai penegak hukum. Ketika institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan justru lumpuh, maka tak ada pilihan lain bagi lembaga yang lebih tinggi untuk mengambil alih. Langkah Kejati ini adalah sinyal kuat bahwa negara tidak boleh kalah oleh pembiaran.
Harson Ali, Ketua LAI, mengapresiasi respons cepat Kejati yang sangat kontras dengan pengalamannya selama ini. “Laporan kami langsung direspons, mereka turun ke lapangan. Ini yang kami harapkan dari penegak hukum,” ujarnya. Pernyataan ini secara implisit menyindir kelambanan aparat di tingkat kabupaten yang membuat perjuangan mereka seolah sia-sia selama bertahun-tahun.
Lebih jauh lagi, kasus ini bukan sekadar soal izin. Ada dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara dalam jumlah fantastis. Jika Polres Pohuwato sejak awal proaktif, mungkin kerugian negara dan kerusakan lingkungan tidak akan separah ini. Sikap abai ini patut dipertanyakan, apakah murni karena ketidakmampuan atau ada faktor lain di baliknya.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Gorontalo, Dadang Djafar, menegaskan bahwa semua temuan di lapangan akan menjadi bahan pendalaman. Keseriusan ini menunjukkan bahwa era main-main telah berakhir. Kasus ini telah menjadi preseden, di mana publik dapat melihat langsung siapa aparat yang bekerja dan siapa yang hanya diam.
Pada akhirnya, intervensi Kejati bukan hanya soal penindakan PETI, tetapi juga tentang penyelamatan marwah penegakan hukum itu sendiri. Ini adalah pesan keras bagi Polres Pohuwato bahwa masa “mati suri” mereka telah usai, dan kini mereka harus menghadapi cermin retak dari kepercayaan publik yang telah mereka abaikan.