60DTK – Lipsus: Pada pertengahan bulan Ramadan, khususnya pada hari ke-15 di bulan puasa ada tradisi unik di Gorontalo yang dari turun-temurun terus dirayakan. Tradisi itu dinamakan Malam Kunut, dan selalu dirayakan oleh masyarakat Gorontalo khususnya masyarakat yang berada di desa Payunga, kecamatan Batudaa, kabupaten Gorontalo. Malam ini (20/5/2019) merupakan puncaknya kegiatan Malam Kunut yang dilaksanakan di lapangan Forbat Batudaa desa Payunga.
Menurut tokoh adat Batudaa Syamsudin Muhammad, perayaan Malam Kunut sudah dilakukan oleh orangtua Gorontalo terdahulu dan terus dilanjutkan oleh generasi muda di bawahnya sampai dengan saat ini.
“Seingat Saya pada tahun 1901 budaya Malam Kunut ini mulai ada, dan belum dilaksanakan di lapangan Forbat,” ujar Syamsudin Muhammad Tokoh Adat Batudaa dengan gelar adat Bate Lo Limutu To Dunggala
Sebelum dilaksanakan di lapangan Forbat selama Tiga hari berturut-turut, dulunya budaya Malam Kunut ini dilaksanakan selama satu minggu sampai hari puncak perayaan itu tiba.
“Kalau pada tahun sebelumnya belum dilapangan, nanti pada tahun 2006 Rema Muda Batudaa memindahkan tradisi Pisang dan Kacang ini dilaksanakan di lapangan Forbat, dan waktu itu Pemerintah Kecamatan Yusuf Hida juga mendukung inisiatif tersebut.”
Ia juga menambahkan Perayaan Malam Kunut ini bisa ditemui dibeberapa daerah yang ada di Gorontalo, apalagi penjual pisang dan kacang banyak kita temui, namun, untuk yang malam Kunut ini cuman di Batudaa yang selalu menjadi pusat keramaian.
Syamsudin juga mengatakan, bahwa perayaan Malam Kunut ini merupakan kearifan lokal orang Gorontalo, dan aslinya dari Batudaa tidak dari daerah lain.
Malam Kunut
Perayaan Kunut itu dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut, tepatnya di lapangan Forbat, desa Payunga, kecamatan Batudaa, kabupaten Gorontalo, yang dilaksanakan dari tanggal 18 – 20 Mei 2019. Perayaan Malam Kunut tak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di malam Kunut itu ada banyak yang dijajakan, yang paling menonjol adalah jajanan kacang dan pisang. Pisang dan kacang ini selalu jadi penanda bahwa perayaan malam Kunut sudah dimulai.
Merayakan Malam Kunut ini sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Batudaa, hal ini juga diungkapkan oleh Syamsudin. Ia mengatakan bahwa dulu itu orangtua-orangtua Gorontalo yang tinggal di daerah pedalaman; orang yang tinggal di daerah gunung, memilih turun ke desa pada saat malam ke-15 tiba bertepatan dengan Kunut di bulan ramadan. Syamsudin meyakini, mereka orangtua dulu itu hanya sekadar mandi untuk membersihkan diri mereka saat melaksanakan salat Isya dan Tarwih secara berjamaah pada saat malam ke-15 tersebut. Dan setelah itu, mereka memilih pergi ke pasar atau pergi ke beberapa pedagang yang menjual pisang dan kacang, alasannya sebagai kudapan untuk menemani mereka berdiskusi.
Selain menjadi kudapan, Syamsudin juga menerangkan ada kegiatan unik lainnya pada pisang dan kacang ini, yakni rema muda terdahulu membeli kacang dan pisang untuk mereka bawakan kepada sang kekasih hati. Kacang dan pisang ini mereka gunakan sebagai alat untuk meminang kekasih hati mereka, kacang dan pisang tersebut kemudian di antarkan ke rumah sang kekasih. Orang Gorontalo mengenal istilah tersebut dengan sebutan “Molomungo”.
“Dulu itu hanya dua orang penjual pisang, yaitu Koro dan Sede.”
Koro dan Sede menurut Syamsudin, adalah dua orang yang menjual pisang dan kacang ketika Malam Kunut tiba atau malam ke15 bulan ramadan. Dan ada istilah yang populer tentang kedua penjual kacang dan pisang tersebut, “kaca ‘kacang’ li Koro, kaca li Koro.”
Melanjutkan Tradisi
Menyambut Malam Kunut ini, masyarakat selalu antusias dan tumpah ruah mengunjungi tradisi yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu dan masih eksis dilanjutkan hingga saat ini.
Mengungjungi tradisi Malam Kunut merupakan hal yang sangat di nantikan masyarakat Gorontalo, bukan karena keramaiannya melainkan budaya Malam Kunut ini hanya ada setahun sekali pada bulan Ramadan.
Sakina Marukai (27) merupakan pengujung malam Kunut yang selalu hadir mengunjungi tradisi di Batudaa tersebut setiap tahunnya. Dari masa ia remaja sampai dengan berumah tangga, ia tak pernah absen untuk berkunjung ke perayaan Kunut di lapangan Forbat itu.
“Saya mengunjungi malam Kunut di Batudaa sudah dari remaja. Meskipun jauh dari Limboto ke Batudaa, saya tetap suka dengan perayaan Malam Kunut ini,” ujar Sakina sambil tersenyum di tengah keramaian pengunjung.
Sakina mengakui, ia tak tahu secara pasti bagaimana sejarah malam Kunut ini harus ada kacang dan pisang, tapi ketika ia remaja dulu, kacang dan pisang adalah hal yang wajib ada di malam tersebut.
“Sepengetahuan saya tentang perayaan Malam Kunut itu tentang Kacang dan Pisang. Tapi, sekarang sudah lumayan bannyak penjualnya tidak hanya penjual pisang dan kacang saja, sudah ada beberapa wahana permainan anak dan tempat berfoto,” kata Sakina
Meskipun banyak yang menjual pisang dan kacang di beberapa pasar dan daerah asalnya, ia tetap memilih membeli pisang dan kacang di lapangan Forbat. “Saya berasaal dari Limboto, di Limboto juga ada perayaan seperti ini, tapi saya memilih di sini karena pelaksanaan Malam Kunut di Batudaa lebih ramai dan sudah terkenal.”
Mengenai pisang dan kacang, hal yang senada juga diungkapkan Husain Ismail (64). Husain mengakui selama ia berjualan dari tahun 1987, ia tak mengenal secara pasti bagaimana pisang dan kacang menjadi menu wajib untuk di perjual belikan dalam perayaan malam Kunut tersebut. “Biasa wanu ma kunut mamo potaliya pisa wau kaca ‘biasanya kalau sudah mulai malam Kunut, sudah ada yang menjual pisang dan kacang’.”
“Malam Kunut itu memang murni menjual pisang dan kacang, Karena itu sudah menjadi tradisi dari turun-temurun,” ujar Husain saat menjamu pembeli.
Husain juga mengatakan soal keuntungan yang ia terima selama menjadi penjual pisang dan kacang dalam perayaan malam Kunut tersebut, “Soal untung dan rugi saya tidak pusing, asalkan pada saat malam Kunut ini tradisi pisang dan kacang terus ada, karena sudah menjadi budaya orang sini.”
Harga pisang dan kacang yang jual Husain pun tidak mahal, ia mematok harga pisang satu sisir sisir seharga Rp10.000 dan kacang seharga Rp10.000 juga. “Tapi kalau ada yang membeli pisang dan kacang dengan harga Rp15.000 saya langsung terima.”
Menurutnya, perayaan Kunut ini bukan soal untuk dan rugi, tapi bagaimana tetap melanjutkan tradisi yang sudah ada sejak dulu. Husain yang juga masyarakat desa Payunga tersebut menganggap, “Berkah dari malam kunut ini adalah melanjutkan tradisi ini tetap jalan,” katanya.
Dan mengenai penjual yang mulai ramai di perayaan tersebut selain penjual pisang dan kacang, Syamsudin mengatakan tak akan mengurangi nilai dan khas tradisi malam Kunut itu. “Ada yang berjualan di sini bukan orang Batudaa asli, bahkan ada yang dari luar Gorontalo, begitu juga pisang dan kacang yang mereka jual. Asalkan pada malam Kunut itu harus ada pisang dan kacang, karena itu simbol dari tradisi ini.”
Penulis: Zulkifli