60DTK, Gorontalo : Cita-cita besar Pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk mencapai swasembada pangan kini resmi tinggal mimpi. Program strategis yang dirancang untuk menyejahterakan petani dan memastikan ketersediaan pangan daerah itu kini luluh lantak, bukan oleh serangan hama atau anomali cuaca, melainkan oleh “lumpur PETI” yang menjadi biang keladi di depan mata Polres Pohuwato.
Kepastian akan gagalnya program ini datang langsung dari Kepala Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo, Mulyadi Mario. Ia dengan gamblang menyatakan bahwa rentetan peristiwa gagal panen di lahan-lahan pertanian produktif Pohuwato disebabkan oleh sedimentasi dari aktivitas tambang ilegal. Pernyataannya adalah lonceng kematian bagi program swasembada pangan.
Ini adalah sebuah tragedi kebijakan. Di satu sisi, pemerintah melalui Dinas Pertanian menggelontorkan anggaran, tenaga, dan program untuk meningkatkan produktivitas. Para penyuluh bekerja, bibit unggul disebar, dan petani didorong untuk bercocok tanam. Namun, semua upaya itu menjadi sia-sia ketika dari hulu, lumpur beracun mengalir tanpa ada yang menghentikan.
Di sinilah peran Polres Pohuwato dipertanyakan secara fundamental. Mereka adalah benteng pertahanan terakhir yang seharusnya melindungi aset-aset vital daerah, termasuk lahan pertanian. Namun, benteng itu ternyata keropos dan membiarkan musuh bernama “lumpur PETI” masuk dan menghancurkan lumbung pangan dari dalam.
Kegagalan Polres Pohuwato untuk bertindak secara langsung telah menyabotase program pemerintah lainnya. Ini menunjukkan adanya tumpang tindih kebijakan yang fatal dan kurangnya koordinasi antar lembaga.
Dinas Pertanian tidak memiliki kewenangan untuk menindak penambang, kewenangan itu ada di tangan kepolisian. Ketika polisi diam, maka dinas lain pun ikut lumpuh.
Anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson Yapanto, juga menyoroti hal ini. Baginya, membiarkan PETI sama saja dengan membiarkan program ketahanan pangan hancur. Ini adalah bentuk kelalaian yang tidak bisa ditoleransi karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan ekonomi daerah.
Dampak jangka panjang dari kegagalan ini sangat serius. Pohuwato akan terus bergantung pada pasokan pangan dari luar daerah, membuat posisi tawarnya lemah dan rentan terhadap gejolak harga. Petani akan kehilangan semangat, dan generasi muda akan enggan untuk terjun ke sektor pertanian yang penuh risiko tanpa adanya kepastian hukum.
Pada akhirnya, kuburan bagi mimpi swasembada pangan di Pohuwato digali oleh para penambang ilegal, namun batu nisannya dipasang oleh sikap diam Polres Pohuwato. Mereka menjadi saksi hidup bagaimana sebuah program strategis nasional dan daerah dihancurkan oleh pembiaran di tingkat lokal.