60DTK – Daerah: Hari itu, Selasa (7/5/2019) puasa baru memasuki hari kedua. Orang-orang masih ramai lalu lalang di jalanan, kebiasaan serupa kita bisa temui di mana saja, pasti banyak yang tumpah ruah di jalan. Selepas salat subuh, anak kecil; remaja, orang dewasa, bergumul merasakan udara pagi, “Hummm sejuk,” sahut anak-anak kecil yang meramaikan jalanan.
Jam dinding mulai berganti angka, kini waktu menunjukan pukul 07.20 Wita waktunya knalpot motor yang mulai ramai, suara teriakan, langkah kaki, bunyi sandal digantikan bising kendaraan seperti hari-hari biasanya.
Jalan yang awalnya basah kini mulai berganti warna hitam keabu-abuan, pertanda aktivitas kendaraan di atasnya sudah di mulai.
Tepat hari ini saya dan beberapa kawan merencanakan perjalanan menuju kampung bajo atau suku bajau yang terletak di ujung Gorontalo tepatnya di Kecamatan Popayato, kampung Bajau yang ada di Torosiaje.
Titik awal perjalanan kami dari Kecamatan Marisa menuju Torosiaje membutuhkan waktu sekiranya dua Jam perjalanan. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh dan memakan waktu yang lama merupakan tantangan tersendiri untuk menahan haus selama menempuh perjalanan.
“Banyak godaan di jalan nantinya, kalau kita berangkat terlalu siang,” kata Budi teman seperjalanan saya.
Perjalanan menuju Torosiaje kami mulai pada pukul 12.30 Wita usai salat Dzuhur berakhir. Yah, tentunya panas yang akan kami alami akan menguras energi di jalan nanti.
Setelah beberapa menit melakukan perjalanan, tampaknya suhu udara memang tak bersahabat, kadang panas, kadang juga mendung. Tak menentu keadaannya, sinar matahari menembus setiap lapisan kain dan jaket yang melindungi kulit. Selama dua jam perjalanan, terik matahari yang menjadi kawan perjalanan.
Desa Torosiaje
Akhirnya pada pukul 16.50 Wita kami sampai di desa paling ujung di provinsi Gorontalo itu, berkisar hanya 30 menit dari Torosiaje kita akan mendapatkan perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Meskipun terletak paling ujung, Torosiaje menjadi tempat wisata paling diminati. Di Torosiaje ini, kalian akan menemui kearifan lokalnya yang masih terjaga, dari tradisi, keseharian menyelam orang Bajau, dan kehidupan mereka yang tak terlepas dari aktivitas melaut atau berada di atas perahu.
“Orang Bajo sini masih ada yang tinggal di perahu, meskipun yang lain sudah memilih tinggal di rumah yang ada di desa Torosiaje Laut dan Torosiaje Darat,” ujar pak Umar Pasandre tokoh masyarakat di desa Torosiaje.
Pak Umar juga menjelaskan, bahwa orang Bajo yang tinggal di Torosiaje terbagi di tiga desa; Desa Bahari, Desa Torosiaje Darat, dan Desa Torosiaje Laut. Dan yang akan menjadi tujuan dari perjalanan ini adalah Desa Torosiaje Laut.
Setelah melepaskan lelah di rumah pak Umar Pasandre yang berada di Torosiaje Darat, saya melanjutkan perjalanan ke Torosiaje Laut. Transportasi yang digunakan tentunya menggunakan perahu, estimasi waktu tempuh sekitar lima sampai delapan menit.
Dari atas perahu, selama perjalanan senja dengan gagahnya menampakan diri. Ia tak malu, tapi berlalu dengan secepatnya. Kehadirannya sebagai penghibur puasa kami di jalan yang hampir batal menahan godaan es buah yang dijajakan di pinggir jalan. Pukul 17.30 Wita kami sampai di dermaga pangkalan ojek perahu di desa Torosiaje Laut.
Sesampainya di Desa Torosiaje Laut kami disambut pak Jaksen mantan kepala desa Torosiaje Laut, dan diberikan ijin untuk tidur dan menginap di tempatnya.
Dari kejauhan, terdengar suara-suara, “ So dekat lagi buka, dekat lagi buka,” kata pak Iman seorang nelayan yang hendak ingin melaut.
Aktivitas melaut memang tidak bisa terlepas dari orang bajau. Pak Jaksen sendiri menerangkan sebagian warga ada yang memilih jadi nelayan dan sebagian lagi memilih jadi tukang ojek perahu.
“Di sini ada sekitar 179 Kepala Keluarga yang tinggal di atas air (desa Torosiaje Laut), dan semuanya memilih pekerjaan di atas laut pula,” imbuhnya.
Sensasi Buka Puasa
Tak terasa waktu buka puasa telah tiba, dahaga yang kering selama perjalanan sesegera mungkin minta dibasahi dengan air. Namun, ada hal unik ketika hendak berbuka puasa di desa Torosiaje. Menurut warga setempat, buka puasa di Torosiaje Laut sedikit lebih lama dibandingkan dengan waktu buka puasa di Marisa dan Kota Gorontalo. “Perbedaannya hanya 2-3 menit. Kalau waktu buka puasa di Marisa 18.50, di sini buka puasanya nanti 18.53 Wita,” jelas pak Jaksen.
Selain waktu buka puasa yang sedikit berbeda, tapi berbuka puasa di sini sangat menyenangkan. Suasana laut yang tenang, langit yang biru kini menjadi gelap, matahari yang panas kini digantikan bintang dengan angin sepoi-sepoi yang meniup dengan sangat dingginnya. Menambah suasana buka puasa kian hangat.
Menurut Umar Pasandre, rata-rata warga desa Torosiaje Laut adalah umat muslim. “Orang Torosiaje Laut akan berhenti melaut selama tiga hari puasa, setelah itu mereka melanjutkan pekerjaan sehari-hari mereka seperti biasanya.”
Meskipun ada perbedaan waktu buka puasa, tempat, dan suasana, tapi berbuka puasa di Torosiaje Laut ini punya kesan tersendiri bagi yang telah merasakannya. Apalagi yang hendak berlibur selama cuti lebaran nanti dan masih bingung ingin mengungjungi tempat wisata di Gorontalo, desa Torosiaje ini bisa jadi pilihan tempat untuk liburan.
Penulis: Zulkifli