Kisah Nura Dopo yang Bertarung Hidup di Danau Limboto

Nura Dopo nelayan danau Limboto yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan danau Limboto yang kian hari kian terancam keberadaannya. Foto: Zulkifli M.

60DTK – Gorontalo: Nura Dopo (52) nelayan danau yang menggantungkan hidup sehari-harinya dari keberadaan danau Limboto. Ia juga satu dari nelayan yang selalu merasakan kegelisahan dari keadaan danau yang kian hari kian dangkal.

“Mari singgah pak, lihat ikan danau dulu,” tawaran itu sebagai pembuka percakapan saya dengan pak Nura Dopo di tempat jualan ikannya yang terletak disepanjang bahu jalan dekat danau Limboto.

Bacaan Lainnya

Ikan-ikan yang ia pajang di tempat jualannya memang begitu segar, tak ada satu pun ikan yang rusak, ada beberapa yang masih aktif bergerak; ikan itu kemudian sudah pisahkan dalam setiap ikatan yang siap dijual.

Pak Nura lebih banyak menjual ikan mujair, dibandingkan ikan khas danau seperti ikan manggabai, ikan seribu, dan ikan betok. Katanya sudah susah mendapatkan ikan betok dan ikan seribu, lebih-lebih kalau nelayan mendapatkan kedua ikan tersebut. Ikan yang didapatkan nelayan paling didominasi manggabai dan ikan mujair, seperti yang Pak Nura Dopo jual saat ini.

Mujair milik Pak Nura Dopo inipun bukan dari hasil tangkapan saat ia turun menjaring atau memancing, tapi murni dari hasil tangkapan dari keramba apung milik Pak Nura.

“Memang sulit sebenarnya mencari ikan di danau. Manggabai misalnya banyak didapat karena di ambil pake (pakai) alat, pakai bambu, kalau ikan mujair sudah ada di keramba saya,” ujarnya sambil mengeluarkan beberapa mujair yang masih hidup dari bak yang sediakan.

“Ini contoh ikan mujair itu. Saya jual perikatnya.” kata Pak Nura sambil menyemburkan beberapa air ke setiap ikan yang ada di setiap meja miliknya tersebut.

Ikan Mujair Pak Nura Dopo yang siap di perjual belikan. Foto: Zulkifli M.

Ikan-ikan segar yang ada di meja Pak Nura aktif mengibaskan ekor-ekornya, dan sesekali ikan-ikan yang sudah Pak Nura ikat meloncat-loncat dari tempat jualannya.

Kata Pak Nura, melalui ikan mujair yang ia rawat dikerambanya itu adalah salah satu alasan ia bisa bertahan hidup.

Bertarung Hidup Di Tengah Danau

Sejak umur 15 tahun, Nura Dopo memulai pekerjaannya sebagai nelayan. Kala itu menurut Nura menjadi seorang nelayan di danau Limboto sangat menguntungkan. Ikan-ikan masih sangat mudahnya ia dapatkan, dibandingkan dengan saat ini.

Saat masa mudanya, Nura menghabiskan waktunya untuk menjaring ikan dan memancing. Beragam ikan yang bisa ia dapatkan kala itu, Nura juga menjelaskan bahwa dulu air danau tidak sesurut yang ia saksikan saat ini.

Nura mengatakan dengan secara jeli keadaan danau yang dulu masih berada pada posisi di mana tempat ia berjualan dan tempat saya berpijak.

“Dari tempat sini (tempat jualan ikan) ini masih danau dulu. Hitung saja berapa kilo dari tempat saya ini sampai pinggiran danau yang terlihat itu,” ungkapnya sambil menunjukan air danau yang surut lebih jauh dari tempatnya menjual ikan mujair dari hasil kerambanya.

Dari hasil kerambanya tersebut, Nura bisa menjual ikan mujair perikatnya seharga Rp 45.000 – Rp 50.000, tapi rata-rata pembeli menawar harga hingga Rp 40.000 untuk setiap ikatnya dan Nura tak akan berpikir lama-lama lagi untuk menahan harga ikannya tersebut sesuai harga awal yang ia tetapkan.

Menurutnya, dengan harga tawar Rp 40.000 ia sudah punya untung dari penjualan ikan tersebut, meskipun keuntungan yang ia dapatkan tidaklah banyak dari perkiraan awalnya.

“Untuk jual ikan ini saya hanya mengambil untung seribu hingga dua ribu, asal ada selisih untung, dan bukan selisih rugi. Paling rendah orang tawar dengan harga Rp 40.000 dan langsung saya suruh angkut kepada pembeli,” katanya.

Kata Nura, dengan pendapatan dari penjualan ikan itu ia bisa menghidupi istri dan anak-anaknya di rumah. Serta tambahan kebutuhan lainnya untuk kebutuhan keramba, kebutuhan pakan ikan misalnya yang harus ia sisihkan juga.

Dari danau yang lambat laun kian surut airnya dan kedalaman yang setiap tahun semakin dangkal, Nura bertarung mempertaruhkan hidupnya di tengah danau yang kian menampak bahwa ia sedang sakit-sakitnya.

Pengalaman Nura untuk mengahadapi kekeringan yang melanda danau di setiap musim kamarau ini bukan hanya kali ini ia rasakan tapi sering sekali ia rasakan. Bahkan danau yang dulunya ia rasa masih sangat dalam, tapi kini airnya di beberapa tempat hanya setinggi 1-2 meter.

“Dulu kalau perahu mau saya keluarkan untuk pergi ke keramba biasa saja, tapi sekarang harus di dorong lebih jauh, karena perahu bisa kandas tak berjalan, karena airnya sudah tidak dalam lagi,” sahut Nura dengan tatapan yang muram kala mengingat kondisi danau yang dulu.

Nura dengan sangat yakin mempercayai bahwa keberadaan danau tidak akan hilang, meskipun beberapa penelitan yang menyebutkan danau Limboto yang masuk dalam 15 danau terkritis di Indonesia itu, diprediksi akan hilang pada 5 -10 tahun ke depan oleh berbagai penelitian aktivis dan pegiat lingkungan.

Warga Kelurahan Hutuo, Kecamatan Limboto ini mengaku keberadaan danau akan tetap ada meskipun setiap tahun terjadi pendangkalan. “Kalau ada yang bilang danau mau mati atau hilang saya tidak percaya, karena kalau mati orang-orang yang menggantungkan hidupnya di danau bisa kerja apa selain kerja mereka sebagai nelayan.”

“Danau itu akan tetap ada, hidup saya sangat bergantung dari danau itu,” harap Nura dengan sikap yang teguh dan penuh semangat, menggambarkan dirinya sebagai kepala keluarga yang tak kenal lelah.

Penulis: Zulkifli M.

Pos terkait