60DTK – Opini : Paris merupakan kota yang legendaris. Tercatat beberapa kejadian sejarah yang meramaikan pergolakan ingatan revolusioner, terjadi di kota ini. Revolusi Perancis (1789), merupakan mosaik ‘keangkeran’ kota ini, sebab kala itu raja Lois XVI ditebas kepalanya dengan perkakas guillotine. Bukan itu saja. Yang teranyar adalah gerakan rompi kuning yang juga dipantik percikan geloranya di kota ini.
Di masa lalu, Paris juga pusat kebudayaan tersohor. Pemikir berkaliber internasional dari berbagai bidang ilmu pengetahuan mematangkan pikiran dan karya magnum opus mereka di tempat ini. Sekelebat nama seperti Jean Paul Sartre, filsuf yang kondang dengan konsep eksistensialisme atau Albert Camus, peraih nobel sastra tahun 1957. Bagian dari sejarah panjang perkembangan intelektual Perancis, Paris adalah tempat mereka menanak karya-karyanya.
Paris tidak hanya menyemai ketokohan anak-anak kandungnya sendiri. Tercatat nama Ali Syari’ati, sosiolog sekaligus tokoh revolusioner Iran, turut menikmati denyut intelektual dalam dekap pendidikan di kota itu. Syari’ati menempuh pendidikanya di Paris sebelum menjadi aktor intelektual penting dalam sejarah revolusi Iran.
Gesekan Syari’ati dengan kota Paris dimulai dengan kedatangannya sebagai pelajar ditingkat doktoral di kota tersebut. Dalam Ali Syari’ati (2002) Ali Rahmena menuliskan “Saat Kedatangannya di Paris Pada Akhir Mei 1959, Ali Syari’ati Langsung Datang Ke Rumah Kazem Rajafi”. Keberadaannya pada awal-awal di Paris, Ali Syar’ati berkenalan dengan rekan senegara yang sedang belajar di Paris, sekaligus merupakan tahap awal menempuh pendidikan serta mengenali Paris lebih dekat.
Dalam proses pendidikanya di .Paris. Perjumpaan Ali Syari’ati dengan para tokoh pemikir Perancis ternama tidak terelakan,sebagai pelajar pada umumnya, Ali Syari’ati juga turut menyantap sajian pemikiran-pemikiran mereka. Kondisi sosial-Intelektual Paris pada dekade itu merupakan penyebab utamanya. Paris merupakan tempat yang murah untuk belajar dan kaya dinamika intelektual.
Dalam Ali Syari’ati (2002) Ali Rahmena menulis, “ bagi seseorang yang ingin melakukan observasi, refleksi, belajar dan berdiskusi. Paris pada tahun 1960-an merupakan garis persimpangan dari banyak perdebatan utama dalam ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Diskusi dan perdebatan ini tidaklah dilaksanakan di balik pintu-pintu klub yang tertutup yang diisi oleh para elistis belaka, tetapi merupakan pertukaran ide di willayah publik”.
Selain tak adanya eksklusifitas dalam akses terhadap ilmu pengetahuan. Tidak ditemukan pula batasan-batasan latar belakang ekonomi, kesenjangan gelar akademik, dan hal lain-nya yang menghambat seseorang menikmati pertandingan ide-ide di wilayah publik di kota Paris saat itu.
“Siapapun yang tertarik bisa ikut mendengar, interupsi atau bahkan berdebat. Untuk presentasi yang lebih formal dan mungkin lebih sistematis, hanya cukup berjalan ke Auditorium Universitas yang siap diakses, di mana sumber pencerahan akademik disampaikan. Bagi mereka yang ingin mencari pengetahuan Paris sungguh-sungguh merupakan sebuah Universitas gratis pusat pencerahan, kritik, dan kebangkitan sosial intelektual. Siapapun yang minum dari sumber sejati ilmu pengetahuan ini, akan tidak tertarik untuk menerima gelar kesarjanaan formal yang borujuis.” Tulis Ali Rahmena dalam Ali Syari’ati (2002).
Bagian tarikh berproses dari intelektual Ali Syari’ati yang menarik lainnya, adalah persentuhan-nya dengan gagasan-gagasan Jean Paul Sartre. Seorang tokoh eksistensialime, satu paham penghambaan pada kebebasan individu, bagi sartre setiap manusia mutlak memiliki kebebasan atas dirinya sendiri dan tidak bergantung pada hal diluar dirinya.
Dalam etika (2011) K. Bertens menulis “Sartre mengatakan: we are condemnetto be free, kita dihukum untuk hidup bebas, atau kita ditakdirkan untuk bertindak bebas”. Bagi Syari’ati pemikiran Sartre tidak sepenuhnya disetujuinya meskipun di lain sisi ia sendiri menyimpan kekaguman pada intelektualitasSartre.
Masih dalam Ali Syari’ati (2002) Ali Rahmena menulis “ide-ide Sartre, khusunya mengenai eksistensialisme menjadi sebuah sumber inspirasi yang penting bagi Ali Syari’ati”. Meskipun dalam beberapa bagian dari doktrin Sartre, Ali Syari’ati dengan berani menyatakan ketidaksetujuannya.
Dalam Ali Syari’ati (2002) Ali Rahmena menulis “ menolak kriteria Sartre mengenai bon sense atau akal sehat, sebagai penunjuk yang berguna untuk mengizinkan manusia untuk menciptakan diri mereka sendiri sebagai tuhan, Syari’ati berargumen bahwa tanpa konsep yang jelas mengenai yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, hasil akhir dari tindakan bebas manusia, mungkin tidak menjadi puncak kesempurnaan individu-individu dan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Sartre, tetapi justru menjadi kegagalan dan kejatuhan mereka”.
Proses perjalanan intelektual Ali Syarati yang dipahat dengan irisan-irisan intelektual Perancis, turut berpengaruh bagi sepak terjang kecendekiawanan-nya dikemudian hari. Kepulangannya kembali ke kampung halaman, membawa gagasan baru hasil sintesis antara nilai kebudayaan Islam yang dipegangnya dengan teguh, dengan buah pemikiran penting dari intelektual Perancis seperti Sartre, Massignon, Berque dan Fanon.
Sepulang dari Paris, Perancis. Ali Syari’ati memulai hidup barunya di kampung halaman, dengan menjadi pengajar di salah satu Universitas di Iran. Sebagai seorang pengajar, Ceramah akademik yang dilontarkan Ali baik lisan maupun tulisan menuai masalah. Tidak jarang kemudian ia harus berhubungan dengan pihak keamanan. Gagasan-gagasan ali dinilai tidak sejalan dengan konsep lembaga yang telah mapan.
Tetapi, bukannya mendapat penolakan penuh dari seluruh elemen masyarakat Iran. Sebagian menyambut baik pikiran-pikiran Ali. Golongan ini melihat semangat pembaruan yang dikumandangkan-nya tidak harus ditolak sepenuhnya. Situasi iran saat itu yang tengah dilingkupi berbagai polemik baik politik maupun intelektual, menyeret Ali kedalam pusaran yang terus saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Bagaimanapun, dalam proses itu, Ali Syari’ati menjadi instrumen penting dalam satu fase sejarah perkembangan masyarakat Iran. Meskipun tidak selamanya berjalan harmonis, dan menyenangkan. Pelarangan memberi kuliah, pengucilan, mendapat tuduhan dari berbagai pihak. Merupakan satu dari sekian banyak fragmen kejadian yang dialaminya selama menjadi bagian dari gerak historis masyarakat Iran.
Menimba kearifan dari perjalanannya merupakan hal yang masih bisa dilakukan dan relevan bagi segala zaman. Sejarah menyimpan perjalanan itu sebagai pelajaran bagi siapa saja yang hendak menimba kearifan dari satu cendekiawan berpengaruh ini.
Karya-karya tulisan Ali Syari’ati masih merupakan kekayaan khazanah intelektual yang tak terhingga nilai historisnya. Baik yang merupakan tulisan-tulisannya sendiri maupun hasil penelitian yang dilakukan terhadap perjalanan intelektualnya.
Ali Syariati meninggal karena mengalami gagal jantung pada 21 Juni 1977. Kejadian ini merupakan tutup tirai perjalanan kehidupan-nya. Tetapi tutup usia tidak membunuh pikiran, pikiran-pikiran Ali Syariati terus menyala di kepala para intelektual progresif yang masih terus menghidupkan gagasan-gagasan kritisnya baik dalam bidang sosiologi maupun agama.
Dalam Ali Syari’ati (2002) Ali Rahmena menulis “pada 26 Juni 1977, jenazah ali syari’ati diterbangkan ke Damaskus di mana dia dimakamkan dengan kuburan Zainab, saudari Imam Husain”. Ali Syari’ati adalah ekspresi manusia pada zamannya. Yang merefleksikan perjalanan seorang intelektual yang panjang dan melelahkan. Keberaniannya mengucapkan pikiran kontroversial dan menimbulkan polemik merupakan gerak wajar dalam dialektika pengetahuan.
Editor : Zulkifli M.
Penulis : Pramono Pido