60DTK, Gaya Hidup – Di seluruh Amerika banyak kawula muda memperjuangkan keadilan sosial lewat berdemo dan turun ke jalan-jalan. Generasi yang fasih dengan teknologi digital ini juga aktif secara online, memanfaatkan berbagai media sosial dan perangkat digital untuk mengorganisir dan memobilisasi rekan-rekan mereka.
Selama pandemi Covid-19, TikTok, Twitter dan Snapchat terbukti efektif dalam menggalang generasi muda.
Fenomena TikTok kini semakin menggiat. Aksi seruan untuk bertindak melalui jejaring sosial telah berkontribusi pada sedikitnya masa pendukung yang menghadiri reli Trump pada Juni 2020 lalu. Para anggota generasi digital ini berbondong-bondong memborong tiket reli Trump itu dalam jumlah besar, tetapi kemudian urung untuk datang.
Di Nashville, enam remaja berdemo atas kebrutalan polisi yang dihadiri hampir 10.000 orang. Bagaimana mereka menyebarkan berita itu? Instagram, tentunya.
Remaja masa kini berbicara dengan menggunakan perangkat yang paling mereka kuasai yakni media sosial.
“Saya pikir secara keseluruhan, teknologi benar-benar menjadi kekuatan pendorong kami. Lewat media itu, kami terhubung satu sama lain. Lalu harus diusahakan cara agar hal-hal itu bisa dimanipulasi, bagaimana agar bermanfaat bagi kita,” ungkap mahasiswa dari City University of New York, Jessica Rosario.
Di New York City sendiri, Jessica bersama teman-teman sibuk mempertemukan masyarakat di sekitar mereka dan mengajak mereka ikut kampanye pendaftaran peserta pemilu secara online.
“Kami benar-benar ingin menciptakan ruang untuk demokrasi secara digital,” tambahnya.
Berbagi sumber daya dan pembangunan koalisi online dengan sejumlah organisasi lain yang memiliki cita-cita yang sama, di situlah kuncinya.
“Tidak ada yang lebih sempurna selain berkumpul bersama dalam sebuah kelompok dan membicarakan hal-hal yang perlu kami lakukan. Kemudian setelah itu kami mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan dan dibagi-bagikan kepada komunitas kita,” jelas Rosario.
Aktivisme secara digital bukanlah hal baru, tetapi kawula muda saat ini lebih canggih dalam memanfaatkannya.
Rosario membantu mengembangkan alat-alat digital bagi para pendukung untuk melakukan advokasi legislatif di Senat negara bagian. “Orang-orang dapat mengkliknya dan secara otomatis terhubung ke Twitter dimana cuitan-cuitan kami sudah terpapar. Hanya dalam sedetik, Anda dapat kirim pesan itu, lengkap dengan tag politisinya, nama RUU-nya, dan mengapa kami menuntut agar legislasi itu diloloskan”.
Rosario percaya banjir Twitter seperti itu turut berperan dalam pencabutan sebagian dari Hukum Hak Sipil di New York.
Sementara itu, ada juga yang menggunakan platform Twitch, sebuah situs streaming langsung bagi para gamer yang baru-baru ini menjadi sumber informasi dari protes-protes yang sedang berlangsung.
Bagi Rosario yang berusia 21 tahun dan masuk kelompok Gen Z, dia masih bisa mengapresiasi teknologi yang kadaluwarsa, asalkan tetap memberi manfaat.
“Terkadang pesan SMS bukan opsi terbaik. Jika banyak hal yang hendak disampaikan, jika ingin mendengar reaksi orang-orang ketika Anda beritahu sebuah pemberitaan, untuk itu saya lebih suka telepon tradisional dibandingkan pesan teks,” imbuhnya.
Untuk generasi digital ini, perhatian bisa diraih baik lewat sarana online, dan dari waktu ke waktu dengan komunikasi off line.
Sumber: VOA Indonesia