60DTK, Opini – Amerika tengah diliputi pembahasan yang sebenarnya telah mengakar sejak dulu. Pembahasan ini terus menerus mengalami transformasi, menuntut rakyatnya membuat gerakan agar tidak dianggap sepele. Pembahasan yang paling sering kita dengar dan gerakan yang paling sering kita jumpai mengerucut pada aspek rasisme -sebuah isu yang paling sensitif untuk disinggung.
Movement atau gerakan anti rasis yang sebenarnya sudah dari dulu digaungkan ini memiliki banyak sekali aspek yang begitu menarik untuk dikaji lebih dalam. Beberapa di antaranya meliputi privilege; sebuah hak istimewa yang harus diterima ras mayoritas, dan sampai di mana batasan-batasan yang boleh dilakukan oleh ras minoritas.
Tidak hanya tentang privilege, bahasan soal rasis ini pun menyinggung tentang bagaimana racial profiling itu terjadi, tentang bagaimana aparat -terutama polisi, menindaki sebuah kasus yang dilakukan oleh ras minoritas. Hebatnya, isu yang begitu sensitif ini bisa dijadikan lahan untuk menarik atensi publik untuk kepentingan politik; memenangkan suara; dan menjatuhkan lawan.
Baca juga: Melihat Catatan Anthony Reid: Persebaran Wabah Di Indonesia Abad Ke-16 & 17
Meskipun hal seperti ini bisa juga ditemukan di berbagai negara dengan isu sensitif yang berbeda, tapi tetap saja, memenangkan satu pihak akan terlihat begitu kotor jika harus mengorbankan pihak yang lain, terlebih kaum minoritas.
Mengelaborasi tentang movement yang sementara dan akan terus digaungkan oleh para penggeraknya, tagar black lives matter menjadi sebuah ajang pembuktian bahwa ras minoritas (colored people) patut dibela.
Bagaimana tidak? Aspirasi-aspirasi yang sejak dulu mereka gaungkan untuk melawan privilege belum menemukan titik terang hingga akhirnya digaungkan lah suara lirih Marthin Luther King Jr. dari balik jeruji Birmingham. Suara yang mengisyaratkan bahwa negara yang begitu maju dan merdeka itu belum mampu memberikan kebebasan sepenuhnya bagi rakyatnya yang berada di lingkaran minoritas, untuk menikmati hak yang setara. Isyaratnya dituliskan dengan sebuah surat berjudul “I have a dream”.
Baca juga: Keras Pun Kecolongan
Tulisan itu menjadi begitu fenomenal dan menjadi kayu bakar semangat bagi para pejuang kesetaraan untuk menciptakan sebuah gerakan bernama Civil Rights Movement. Penggambaran tentang begitu jomplangnya perlakuan terhadap rakyat minor pada saat itu terlihat jelas dari banyak sudut. Tempat tinggal yang ditandai oleh ghetto, perbedaan fasilitas berupa sekolah, bus, hingga penerimaan kerja berdasarkan klasifikasi ras. Tidak aneh jika protes sana sini terus digaungkan.
Tidak hanya tentang privilege, racial profiling dan police brutality pun menjadi jelas dan nyata menyasar kaum minoritas. Dengan stereotype yang telah dilekatkan pada kaum minoritas bahwa mereka tidak teredukasi dengan baik, rentan terhadap kriminalitas, dan menjadi sumber masalah, menjadi sebuah konsiderasi yang timpang, hingga lahirlah tindakan spontan untuk menghilangkan nyawa.
Meskipun pada kasus terakhir (George Floyd) dinyatakan tidak bersih dari sebuah perilaku kriminal, hal itu tidak lantas dijadikan sebagai sanksi instan untuk menghilangkan nyawa. Kasus George Floyd bukanlah kasus pertama yang menimpa kaum minoritas (colored people) dalam hal racial profiling dan police brutality. Begitu banyak rentetan kasus jika kita lihat ke belakang. Oleh karena itu, bukan hal yang tabu lagi jika suara-suara untuk menyelamatkan hidup minoritas itu akan terus ada dan digaungkan di mana-mana.
Baca juga: Tentang Karakter Mahasiswa Gorontalo: Suatu Perdebatan Yang Keliru
Dalam tagar black lives matter, ada banyak sekali hak yang diperjuangkan, banyak aspirasi yang disuarakan. Bukan hanya tentang pembukaan hak yang setara seluas-luasnya, tetapi juga tentang bagaimana memanusiakan manusia, menghormati dan melaksanakan hukum yang telah dibuat, menghargai keanekaragaman dan perbedaan masyarakat, hingga menjunjung tinggi kebebasan individu untuk memperoleh kebahagiaan.
Life, liberty, and pursuit of happiness. (rds)
Penulis: Musfira Mahmud
Note: Tulisan ini dibuat sebagai hasil diskusi dengan tema #01 Black Lives Matter bersama Karmila Machmud, M.A., Ph.D.; Novi R. Usu, M.A.; dan Hasna Nurain Mukhsin, M.A.