60DTK – Gorontalo: Malam itu begitu panjang, langit tampak gelap, dan angin melipir dengan sendunya. Hanya mereka teman perjalanan saya dan beberapa kawan ke Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Sekiranya untuk sampai ke Desa Torosiaje membutuhkan waktu 6 jam dari Kota Gorontalo.
Kunjungan ke Desa Torosiaje ini, ingin melihat bagaimana para ibu-ibu rumah tangga di sana memanfaatkan buah mangrove dan membuat abon ikan dari ikan asin.
Desa Torosiaje sendiri merupakan desa yang ditempati suku bajo/bajau. Mereka telah puluhan tahun bermukim di sana. Bahkan saat ini Torosiaje sudah terbagi menjadi tiga desa di antaranya: Desa Bahari, Desa Torosiaje Jaya, Desa Torosiaje Laut. Dan ketiga desa ini sering disebut oleh warga sekitar dengan nama Desa Torosiaje Serumpun, artinya bahwa meskipun sudah terbagi ke beberapa desa, tapi kekeluargaan antar sesama orang bajau/bajo harus tetap dijaga.
Rabu, 9 Oktober 2019. Perjalanan saya ke Torosiaje akhirnya sampai juga. menghabiskan hampir separuh malam di jalanan, rasanya tubuh memberi sinyal yang kuat agar cepat istirahat. Saya dan kawan lainnya bergegas merapikan badan di tempat tidur yang sudah disediakan oleh Pak Umar.
Pak Umar adalah tokoh masyarakat di Desa Torosiaje, ia dikenal dengan kesederhanaannya. Meskipun telah beberapa kali mengunjungi rumah Pak Umar, namun baru saat ini saya tidur di rumahnya.
Malam terus larut, Pak Umar mematikan lampu rumahnya. Pertanda tidur harus segera dilaksanakan.
Pagi itu, fajar muncul dengan biasanya. Tapi, ibu-ibu desa Torosiaje mulai sibuk mengurusi dapur rumah Pak Umar. Maklum, rumah Pak Umar jadi tempat pengolahan buah mangrove dan abon ikan asin hari ini.
Kala matahari mulai beranjak, sebagian dari kami sudah menyiapkan diri juga. Dan di dapur, tampaknya ibu-ibu rumah tangga Desa Torosiaje Serumpun mulai menyibukkan diri mereka.
Satu per satu tampak mengambil bagian dan tugas mereka masing-masing. Tanpa di perintah dan memerintah, kerjaan membuat abon ikan asin pun dimulai.
Umar Pasandre selaku Tokoh Masyarakat dan Ketua Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) Desa Torosiaje mengatakan, langkah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Torosiaje sebagai bentuk penghargaan untuk sumber daya alam yang dimiliki oleh Desa Torosiaje. Dalam hal ini SDA yang dimaksud adalah mangrove dan hasil laut yang melimpah.
“Pengolahan abon ikan asin ini sebenarnya sudah pernah kami buat pada saat bencana Palu kemarin dalam bentuk abon. Dan yang paling penting semua ikan yang dijadikan abon ikan asin tadi dari keberhasilan masyarakat memberdayakan mangrove dan merawatnya agar terus terjaga,” ujar Umar Pasandre saat diwawancarai, Rabu 9 Oktober 2019.
Umar juga mengungkapkan, kegiatan pengoalahan buah mangrove sudah pernah dilakukan pada tahun 2014 bahkan sudah sampai di tingkat internasional. Tetapi, ini hanya menambah olahan lain seperti olahan abon ikan asin, sambel ikan asin, dan olahan buah lainnya. Jika ini berhasil dijaga dan konsisten, bisa jadi oleh-oleh olahan dari Desa Torosiaje.
“Kemarin juga pada kejadian bencana di Sulteng, kami dan kawan-kawan LSM lingkungan juga turut membantu membuat olahan abon ikan asin untuk korban bencana. Artinya kami mengirim olahan pesisir dalam bentuk makanan, salah satunya dari olahan abon ikan asin dari desa Torosiaje ini,” katanya.
Selain itu, Umar Pasandre juga mengklaim pengolahan abon ikan asin ini baru pertama kali dibuat di Gorontalo dan khususnya di produksi di Torosiaje.“Abon ikan asin ini pertama dibuat di Provinsi Gorontalo dan pertama dibuat di Torosiaje.”
Harapannya melalui pengolahan ini, mereka ibu-ibu dan generasi muda punya kepedulian lingkungan terhadap keberadaan mangrove, agar kehidupan ekosistem dan biota lautnya tetap terjaga. Dan hasil lautnya bisa dimanfaatkan kembali.
“Harapan saya, mereka tetap menjaga kelestarian, karena ini bisa juga menghasilkan nilai ekonomi. Pekerjanya pun 70 persen dari perempuan sisanya laki-laki,” tuturnya.
Mereka yang di Balik Pengolahan
Salma salah satu perempuan dari desa Torosiaje Serumpun yang terlibat dalam pengolahan dan termasuk anggota kelompok ikan asin Bumi Bahari. Di umurnya yang 40 tahun ini, Salma terlihat gigih kala sedang sibuk-sibuknya mengurusi dapur Pak Umar dengan beberapa ibu rumah tangga lainnya.
Menurut Salma, kelompok ini baru terbentuk. Tapi, jauh sebelum itu olahan abon ikan asin sudah setahun lalu telah dikerjakan oleh ibu-ibu desa Torosiaje.
“Sejak tahun kemarin kami sudah buat. Tepatnya, pada saat bencana melanda daerah Sulteng kemarin. Dan jenis ikan yang menjadi abon tersebut kami pilih dari beberapa jenis ikan lainnya,” ujar Salma.
Keahlian Salma dalam mengolah abon ikan asin tersebut, ia dapatkan dari mengikuti pelatihan-pelatihan pengolahan buah mangrove dan hasil laut dari Torosiaje.
“Ini juga berkat mangrove yang terus kami jaga, ikan yang dibuat abon ini juga hasil dari situ. Dan berkat pelatihan yang kami ikuti.”
Kata Salma juga, membuat abon ikan asin ini sebenarnya mudah. Tak ada bahan dan peralatan yang sulit untuk ditemukan. Apalagi bahan dasarnya ikan, sangat melimpah ruah di sini.
Penulis: Zulkifli M.