60DTK-Gorontalo: Pemanfaatan limbah eceng gondok dari danau Limboto menjadi kerajinan khas seperti tas, dompet, dan tempat buah kini mulai banyak diminati. Hal itu diungkapkan oleh Yeni Rorin Tulus (55), ketua kelompok usaha jaya pemanfaatan eceng gondok. Yeni mengatakan, pemanfaatan eceng gondok ini mulai ia jalani dari tahun 2017 kemarin.
“Sebelum saya bekerja sebagai pengrajin eceng gondok ini, saya bekerja sebagai pengrajin di usaha rotan indah, selama 19 tahun. Namun, pada tahun 2017 kemarin memilih menjadi pengrajin eceng gondok, dan mendirikan kelompok usaha jaya dengan anggota 21 orang,” katanya.
Namun, setelah terbentuknya kelompok tersebut, lambat laun para anggota kelompok usaha jaya yang didirikan secara bersama masyarakat Desa Luwoo, Kecamtan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo itu mulai berkurang. Alhasil, kelompok usaha jaya mulai ditinggali anggotanya dan hanya tersisa lima orang yang meneruskan kerajinan. Menurut Yeni, faktor mereka tak berminat karena menjadi pengrajin eceng gondok tak menghasilkan apa-apa.
“Saat ini anggota yang aktif hanya lima orang sisanya sudah tidak mau lagi, alasannya karena tak langsung mendapatkan keuntungan. Memang awalnya kelompok ini dibentuk secara swadaya, jadi harus berjuang juga. Meskipun pada akhir tahun mendapat bantuan dari BI, dan sampai dengan sekarang ini kami menjadi binaan dari BI,” jelasnya.
Penjualan hasil kerajinan dari bahan eceng gondok yang diproduksi kelompok usaha jaya ini banyak dijual di luar daerah, dibandingkan di dalam daerah sendiri, khususnya Gorontalo.
Kata Yeni, kerajinan seperti tas, dompet, tempat buah yang telah mereka rangkai dari bahan eceng gondok tadi, tak diminati oleh orang lokal melainkan orang di luar dari Gorontalo. Jakarta paling banyak permintaan hasil kerajinan dari eceng gondok ini.
“Orang di sini belum berminat dengan kerajinan ini, apalagi tas dan dompet yang kami buat. Kebanyakan orang luar, terus masalah lainnya juga orang di sini kurang minat untuk memanfaatkan eceng gondok tadi menjadi hal yang bernilai ekonomis,” kata Yeni saat diwawancarai di rumahnya, Kamis (31/10/2019).
Senada dengan Yeni, Isnawati Muhammad, pemilik galeri Tiar, yang juga menjual berbagai macam kerajinan eceng gondok mengatakan hal yang sama. Bahwa kerajinan ini masih sangat minim diminati di Gorontalo.
“Paling banyak pemesan dari luar, begitu juga ketika kami ikutkan dalam pameran orang luar lebih banyak membeli. Penjualan di sini belum banyak masih bisa dihitung, diperkirakan satu sampai dua buah dalam sebulan,” kata Isnawati.
Isnawati juga menuturkan, selain pembeli yang sangat minim, para pengrajin eceng gondok ini juga minim. Semua stok hasil kerajinan yang ia jual semua dipasok dari kelompok usaha jaya yang diketuai Yeni.
“Pengrajin juga masih sangat minim, hanya ibu Yeni yang saya lihat tetap giat dalam menjalankan pemanfaatan eceng gondok ini. Bahkan kami harus mengejar target yang harus dipenuhi, yaitu pesanan ke Chicago beberapa bulan ke depan,” ujarnya kepada wartawan.
Ia juga menambahkan, penjualan tertinggi di galeri Tiar seharga 500 ribu rupiah, serta penjualan dalam per bulan menurutnya juga tidak menentu.
“Penjualan dalam sebulan tidak menentu. Dan penjualan paling banyak kami ikutkan dalam pameran, karena pembeli di sini belum banyak, makanya lebih banyak diikutkan dalam pameran.”
Namun, Isnawati juga menaruh harapan yang besar ke depan bagi kelangsungan pemasaran dan pengenalan kerajinan eceng gondok ini di masyarakat umum khususnya Gorontalo.
“Meskipun masih kurang diminati, kami yakin kerajinan dari eceng gondok ini pasti ke depan akan banyak dimianti. Namun, butuh waktu pengenalan saja di masyarakat. Nasibnya mungkin akan sama dengan pengenalan karawo,” tambahnya.
Penulis: Zulkifli Mangkau