60DTK – Gorontalo: Di tengah kemarau yang panjang, jalan-jalan raya begitu panas, panasnya menyembur ke segala arah. Tumbuhan, tanah, dan air tak dapat bersimbiosis mutualisme jika kemarau tiba.
Pagi itu (2/9) saya diberitahu oleh seorang kawan bahwa ada beberapa daerah di Kabupaten Gorontalo dilanda kekeringan akibat kemarau. Saya kemudian bergegas menimpali chat-nya tersebut via whatsapp.
Ia kemudian memberitahukan lokasi kekeringan yang paling berdampak itu berada di kelurahan Bulota, kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo.
Pukul 10.00 Wita, saya bergegas ke daerah itu. Namun, lagi-lagi teman dijalan saya adalah sinar matahari yang begitu menyengat meskipun flanel yang saya pakai coba mengakali panas teriknya, tapi ia tetap saja pada keegosiannya, menembus tanpa batas. “Panas”, saya membatin sambil memacu sepeda motor menuju kelurahan Bulota sesuai informasi.
Teman yang memberikan informasi tersebut menyarankan saya untuk melewati jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), saya membatin untuk kedua kalinya. Sangat panas, tak ada pepohonan di kiri – kanan bahu jalan, hanya di kejauhan pohon-pohon kekeringan dan sebagian bekas galian C yang tak dikerjakan lagi.
Waktu menunjukan pukul 11.30 Wita, saya mendapatkan informasi dari warga butuh waktu 30 menit lagi untuk sampai ke kelurahan Bulota. Perjalanan kembali dilanjutkan. Sungguh terik matahari yang begitu panas membuat saya kehausan bukan kepalang.
Jalanan menuju kelurahan Bulota itu tak begitu baik, banyak berlubang dan belum di aspal. Jalan yang menanjak dan kemudian turun kembali hal yang lumrah saya temui.
Pukul 12.20 Wita saya sampai di desa Bulota, memang betul aliran sungai kecil nampak mengering saat motor saya melewati satu jembatan penghubung.
Laju motor terus saya pacu, sekiranya memakan waktu 20 menit barulah saya menemukan sosok perempuan yang berjalan menuju tempat aliran sungai kecil. Dengan bawaan yang begitu banyak ia tenteng di tangan kirinya. Saya mengira dari kejauhan, mungkin itu baju kotor yang hendak mau ia cuci. Tapi kain kotor milik perempuan tersebut mau dicuci pakai apa di tengah kekeringan dan kesulitan air yang melanda tempat ini.
Perempuan itu bernama Laila (40) warga kelurahan Bulota, kecamatan Limboto yang hendak pergi ke sumur kecil buatannya untuk mencuci pakaian kotor milik keluarganya.
Dari kejauhan tempat saya memarkirkan motor, tepat di jam 12.40 Wita, ia berjalan dengan santai sambil membawa loyang plastik berisi pakaian di tangan kirinya dan satu buah gayung di tangan kanannya.
Ia berjalan menuju sungai kecil tak jauh beberapa meter dari rumahnya. Sekiranya jarak dari rumah Laila 50 meter menuju arah sungai tempat ia menimba air dari sumur-sumur kecil buatannya.
Laila dan keluarganya mengambil kebutuhan air di sumur-sumur kecil buatannya tersebut, “Kami sekeluarga minum dari air sumur buatan ini,” ungkapnya dengan lirih.
Ia tak tahu harus mencari air di tempat mana lagi selain berinisiatif membuat sumur-sumur kecil tersebut. Dengan mengambil air di sumur kecil itu, ia terus berjuang di tengah gempuran panas dan keringnya di musim kemarau.
Hanya membutuhkan waktu 7-10 menit Laila akhirnya sampai di sumur buatannya itu, sumurnya nampak masih kotor dan banyak ditutupi oleh dedaunan. Setelah sampai segera mungkin ia meletakan loyang plastik berisi pakaiannya dan mulai membersihkan daun-daun yang menutupi sumurnya.
“Di sumur ini banyak orang yang menggantungkan hidupnya, untuk kebutuhan air terutama. Bahkan warga dari bawah sana harus naik sampai ke atas sini untuk mencari air,” kata Laila dengan raut semangat sambil memilih dan memilah dedaunan yang menutupi sumur kecil itu.
Keluarga Laila menggantungkan hidupnya melalui sumur suntik atau sumur bor awalnya, sebelum kemarau menerjang sumur suntik miliknya yang kini tak bisa digunakan lagi. Ia dan keluarga terpaksa memutar otak untuk mendapatkan air bersih lagi di tengah kemarau yang panjang menghampiri Laila dan warga Bulota.
Kemarau panjang yang menghampiri Gorontalo telah dirasakan warga kelurahan Bulota terutama Laila dan beberapa warga Bulota lainnya sejak bulan Juli kemarin.
Berjuang di Tengah Kemarau
Awalnya Laila hanya mengira kesulitan air yang ia alami ini hanya permasalahan biasa saja, tak akan berdampak hingga berbulan-bulan lamanya. Ia menyadari kesulitan mendapatkan air bersih tersebut saat memasuki akhir bulan Juli dan berlanjut hingga sekarang.
“Dari bulan Juli kesulitan mo dapa air bagini,” tuturnya sambil melemparkan senyum bahagia saat sumur buatannya mulai bersih dari daun-daun pohon yang awalnya menutupi sumur miliknya.
Sumur Laila telah bersih, ia kemudian mencicipi air sumur miliknya tersebut. Sangat nikmat air yang ia telan itu di tengah matahari panas di musim kemarau. Laila juga sangat bersyukur tempat sumur buatanya tepat di bawah pepohonan yang memberikan kerindangan dan keteduhan bagi siapa saja yang ingin menimba air dari sumur itu.
Bukan hanya pohon, di sekeliling sumur Laila hingga sejauh mata memandang, aliran air sungai itu tampak mengecil, persis seperti jalan setapak di kampung-kampung. Sekiranya air sungai yang mengalir itu lebarnya sekitar 1 meter.
Hidup dengan bayang-bayang kesulitan air seakan menjadi teman bagi warga Bulota di tengah kemarau panjang yang terjadi di sebagian wilayah di Gorontalo.
Pihak Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi puncak kekeringan yang melanda Gorontalo sampai pada bulan September dan pada Oktober akan memasuki musim peralihan.
Namun, ada kesesalan yang dihadapi Laila dan warga Bulota, keluhannya mengenai tidak ada satu pun pemerintah yang melirik kesulitan-kesulitan mereka saat bertahan di tengah kemarau.
“Selama ini tak ada orang pemerintah sampai ke atas sini.” Ujarnya Senin, (2/9/2019).
Laila juga menuturkan kalau di siang hari seperti ini, suasananya memang sangat sepi ia akan ramai jika pada sore, begitu ramai katanya warga Bulota naik sampai ke atas hanya untuk mencari air bersih.
“Sore banyak orang yang ambil air di sini, rame (ramai) sekali.”
Laila juga mengharapkan musim kemarau dan kesulitan mendapatkan air bersih segera berakhir. Ia merindukan masa-masa di mana ia menimba air dari sumur suntik miliknya. “Pokoknya cepat berakhir, susah memang hidup dengan susah air begini. Apalagi dengan waktu yang cukup lama, tidak bisa mo dibayangkan bagaimana lagi,” ujarnya penuh harap sambil menuangkan air dari sumur kecil itu ke loyang plastik yang ia bawa, berisi pakaian kotor miliknya yang siap ia cuci.
Penulis: Zulkifli M.