60DTK – Gorontalo: “Rasanya kita di Gorontalo selalu kurang dengan diskusi seperti ini, bahkan terhitung tidak ada. Persoalan seni masih belum dianggap penting dalam pembahasan sehari-hari bahkan untuk mendiskusikannya masih sangat kurang dikalangan masyarakat Gorontalo secara keseluruhan.”
Ungkapan Budianto Sidiki itu mengawali diskusi dan peluncuran buku Tupalo dengan mengusung tema, “Kata dan Rupa Gorontalo”, yang dilaksanakan di lantai II UPT Perpustakaan Universitas Negeri Gorontalo. Senin (16/9/2019).
Dalam diskusi dan peluncuran buku Tupalo ini, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo itu mengungkapkan rasa kebanggaannya kepada para perupa Gorontalo yang mampu tampil hingga di kancah Nasional yang dilakukan secara mandiri.
“Inisiatif yang dilakukan oleh Awal dan kawan-kawan ini harus diapresiasi, karena mereka melaksanakannya secara mandiri. Dan sudah seharusnya Pemda mulai mensupport apa yang mereka buat karena telah mengangkat budaya dan nama daerah itu sendiri,” ungkapnya saat menjadi pemantik pertama dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut.
Selain Budianto Sidiki, pemantik lainnya ialah: Kurator sekaligus dosen seni rupa Universitas Negeri Gorontalo, Wayan Seriyoga Parta dan Budayawan Gorontalo, Alim Niode.
Dalam kesempatan yang sama juga, Wayan Seriyoga menuturkan bagaimana perjuangan teman-teman perupa Gorontalo yang kemudian menamai pergumulan mereka dengan Komunitas Perupa Gorontalo (Tupalo).
Kata Wayan, perjalanan Tupalo ini tidak ditempuh dengan sangat mulus, tapi banyak juga jalan berlubang yang dilewati. “Seperti saat tampil perdana di Bali beberapa karya tak bisa pulang lagi ke Gorontalo,” ujarnya.
Tupalo sendiri menurut Wayan memiliki arti yang sangat mendalam, “Tupalo itu diartikan para perupa sebagai mata air; mata air kehidupan”.
Ia juga menambahkan, bahwa keberadaan Tupalo untuk menjaga dan akan selalu mengakabarkan budaya-budaya Gorontalo kepada orang banyak.
“Setiap pameran yang dilakukan Tupalo pasti mengangkat tema yang identik dan dekat dengan keseharian orang Gorontalo. hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap kebudayaan Gorontalo, terutama kami mengkampanyekan melalui seni rupa,” kata Wayan yang juga dosen seni rupa UNG hadir sebagai pemantik.
Selain Budianto Sidiki dan Wayan Seriyoga Parta, Budayawan Alim Niode pun memberikan beberapa tanggapan dalam diskusi dan peluncuran buku sore itu. Keberadaannya sebagai pemantik turut menghidupkan suasana diskusi dalam perspektif kebudayaan.
Alim Niode memulainya dengan membacakan setiap penulis dan isi dari tulisan dalam peluncuran buku Tupalo itu. Menurutnya, dalam Tupalo ini banyak menggambarkan keadaan Gorontalo saat ini, dan seharusnya melalui buku ini menjadi cambuk bagi kita sendiri. “Pembahasannya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.”
“Saat membaca buku Tupalo ini, saya menggambarkannya dalam dua kata: Tupalo sebagai transposisi dan sebagai transformasi,” ujar budayawan Gorontalo itu.
Selain itu juga, Alim memberikan kritik kepada beberapa orang yang selalu mengutarakan melakukan perubahan di daerah, khususnya di Gorontalo.
“Ada ciri orang melakukan perubahan di Gorontalo: membangun daerah atau membangun di daerah; kalau membangun daerah dia akan membangun secara keseluruhan daerah itu dan fokus, kemudian membangun di daerah, pasti orientasinya pada proyek. Terbalik dari apa yang saya maksud tadi membangun daerah,” ujarnya.
Penulis: Zulkifli M.