60DTK-Madiun: Topeng merupakan benda mati yang sering dijadikan media peraga dalam sebuah seni. Ragam bentuk ekspresi yang hadir darinya, membuat topeng bisa dikatakan banyak ‘berjasa’ dalam sejarah peradaban seni manusia.
Di Indonesia sendiri, bisa ditemukan beberapa seni pertunjukan yang menggunakan topeng sebagai media utamanya, seperti yang ada di wilayah Ponorogo, dengan seni khasnya Reog Ponorogo, yang kini sudah diakui oleh dunia. Dan di Kabupaten Madiun sendiri, ada juga seni topeng, yang dikenal dengan nama dongkrek.
Baca juga: Keluh Kesah Pedagang Kaki Lima Di Madiun Sejak Pandemi Covid-19 Merebak
Dongkrek adalah seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Desa Mejayan, Kabupaten Madiun, yang menggabungkan antara seni tari dan drama dengan mengambil cerita tentang pertarungan Kakek Sakti melawan kawanan genderuwo (setan), yang berakhir dengan kemenangan Kakek Sakti tersebut.
Namun, sangat disayangkan, dongkrek kini menjadi salah satu kesenian yang hampir punah. Seperti halnya sebab kepunahan beberapa kesenian tradisional daerah lainnya, dongkrek juga hampir punah oleh kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah, serta karena masuknya budaya asing ke Indonesia.
Baca juga: Di Kabupaten Madiun, Desa Diminta Jadi Ujung Tombak Pemutus Penyebaran Covid-19
Di Kabupaten Madiun sendiri hanya ada satu pembuat topeng dongkrek yang masih aktif, yakni seorang warga asal Desa Kebonagung, Kecamatan Mejayan, Marianto, yang masih bisa kita temui hingga saat ini.
Jika membaca buku yang pernah ditulis oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun, istilah dongkrek diambil dari bunyi dua alat musik. Beduk yang berbunyi dhung, dan korek (berbentuk seperti kipas yang dibuat dari anyaman bambu), yang menghasilkan bunyi krek. Dua alat musik tradisional ini sangat dominan dalam pertunjukan kesenian dongkrek. Jika keduanya dibunyikan bergantian dan terus menerus, akan menghasilkan bunyi dhung-krek-dhung-krek.
Baca juga: Satpol-PP Kabupaten Madiun Gelar Operasi Gabungan Ke Tempat Keramaian
Dalam pementasannya, topeng dongkrek Madiun disajikan dengan memiliki dua fungsi. Pertama, dongkrek sebagai sajian ritual tolak bala yang diadakan tahunan pada tanggal 10 di bulan Suro (kalender Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah) berupa arak – arakan dongkrek dan upacara penyerahan topeng di Desa Mejayan. Kedua, dongkrek juga bersifat hiburan yang berfungsi sebagai seni penyambutan dan peresmian melalui arak – arakan dan pentas tari dongkrek.
Sejarah kesenian topeng dongkrek diperkirakan dimulai sekitar tahun 1900-an. Dipercaya pertama kali diciptakan oleh R. Bei Lo Prawirodipuro, yang pada tahun – tahun tersebut menjabat sebagai Palang (jabatan yang membawahi 4 sampai 5 kepala desa) di Mejayan.
Baca juga: Kuliner Sehat Khas Madiun
Diceritakan bahwa zaman dahulu, daerah Mejayan terkena wabah penyakit (pageblug). Ketika siang sakit, sore hari meninggal, atau pagi sakit, malam harinya meninggal dunia. Sebagai seorang pemimpin, Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro merenung untuk mencari metode yang tepat untuk penyelesaian wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Beliau merenung, meditasi, dan bertapa di Gunung Kidul Caruban.
Dari hasil bertapa-nya, beliau mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut. Wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan genderuwo menyerang penduduk Caruban akan dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari wilayah Caruban. Maka dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagebluk tersebut.
Baca juga: Pemkab Madiun Akan Tutup Semua Masjid Di Jalan Trans Jelang Ramadan 1441 H
Pada awal perkembangannya, topeng dongkrek hidup dan berkembang dengan begitu pesat dan menjadi kesenian rakyat paling populer di masa itu. Hanya saja masa kejayaannya tidak berlangsung lama. Perlahan namun pasti, dongkrek surut dan tak lagi diminati.
Sebab kemundurannya pun tidak jelas. Mungkin karena sifatnya yang statis yang menimbulkan kejenuhan peminatnya, atau masuknya beberapa kesenian lain, terutama dari Jawa Tengah, yang hingga saat ini pun masih sangat diminati oleh masyarakat Caruban.
Baca juga: Sejumlah Wilayah Di Madiun Terendam Banjir
Dilansir dari Blog Kulo, selain perkiraan di atas, ada pula kemungkinan yang mengatakan bahwa menyusutnya minat terhadap seni dongkrek masih ada hubungannya dengan meninggalnya si pencipta dongkrek. Memang pencipta kesenian ini semasa hidupnya terkenal sebagai orang sakti dan mempunyai kewibawaan yang besar. Jadi surutnya dongkrek karena ditinggalkan oleh pencipta, dan mungkin sekaligus sebagai satu – satunya pembina yang tangguh, ampuh, dan berwibawa.
Sementara itu, menurut Jaecken (2011: 3), kesenian ini mengalami masa kejayaan pada rentang tahun 1867 – 1902. Setelah itu, perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, dongkrek sempat dilarang oleh Pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan rakyat. Hal ini dikarenakan mereka khawatir apabila dongkrek terus berkembang, bisa digunakan sebagai media penggalang kekuatan untuk melawan Pemerintah Belanda.
Baca juga: Belum Lama Diperbaiki, Jalan Raya Caruban Wonosari Madiun Rusak Lagi
Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian ini dikesankan sebagai kesenian genjer – genjer yang dikembangkan PKI untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian dongkrek mengalami masa pasang surut akibat imbas politik. Tahun 1973, dongkrek digali dan kembali dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun, bersama Provinsi Jawa Timur (Jaecken, 2011: 3).
Penulis: Puguh Setiawan