60DTK, Editorial: Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia (RI) sudah berpikir keras cara mengurangi penyebaran virus ini. Salah satu upaya pemerintah saat itu adalah dengan meniadakan pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah; pertemuan secara langsung di kantor-kantor; bahkan sampai menutup seluruh pusat-pusat perbelanjaan dan tempat hiburan.
Tak sampai di situ, pusat pendidikan yang awalnya hanya diliburkan selama dua minggu saja, akhirnya diperpanjang hingga awal Juli 2020, lalu akhirnya dilakukan pembelajaran daring hingga saat ini. Akibatnya, banyak siswa yang memang tinggal di area pedalaman, mulai ketinggalan pelajaran karena terkendala sulitnya jaringan internet.
Terkait hal ini, tidak sedikit orang tua siswa yang mengeluhkan pembelajaran daring sebagai pengganti pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Tak heran, mengingat memang tidak semua siswa mempunyai sarana yang memadai untuk mengikuti kelas secara daring, baik dari segi ketersediaan telepon pintar, komputer jinjing (laptop), hingga soal jaringan internet tadi.
Baca juga: Khasiat Akar Cemara Bagi Kesehatan Tubuh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim pernah mengatakan, “Kita harus mengakui bahwa proses adaptasi pembelajaran dari tatap muka menjadi daring, memang sangat sulit. Namun, setidaknya pembelajaran masih tetap bisa dilangsungkan, daripada tidak sama sekali”.
Meskipun begitu, tetap muncul pertanyaan-pertanyaan sepert: Cukup memadaikah proses pembelajaran daring ini untuk meningkatkan pemahaman peserta didik sebagaimana yang biasa dilakukan di kelas tatap muka? Melalui pembelajaran tatap muka saja, belum tentu peserta didik mudah memahami materi yang diberikan, apalagi dengan pembelajaran daring, yang mutlak tidak dilakukan secara langsung, dan segala hal bisa terjadi. Di kondisi saat ini, setiap insan pendidikan terkesan “dipaksa” beradaptasi dengan keadaan.
Selain itu, dari sisi tenaga pengajar pun juga tidak menguntungkan. Guru yang biasa mengajar langsung memakai papan tulis, serta berdialog langsung dengan siswa, kini harus terkendala jaringan untuk sekadar bertukar sapa dengan murid-muridnya.
Baca juga: Senggol – Bacok: Toxins And Antidotes On Social Media
Guru juga harus bekerja ekstra dalam membimbing anak didiknya karena tidak semua anak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya, guru harus siap membimbing anak didiknya kapan saja. Alhasil, tak sedikit dari guru-guru tersebut yang pada akhirnya terpaksa mengibarkan bendera putih.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kegaduhan di tengah masayarakat terkait hal ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Kemendikbud RI hendaknya mampu menjalin sinergi dengan kementerian lainnya dalam menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi kelancaran kegiatan pembelajaran daring, seperti menyediakan internet secara gratis khusus untuk kegiatan pembelajaran, yang dapat meringankan beban para murid, guru, hingga orang tua.
Kedua, memberikan kesempatan kepada sekolah dan orang tua untuk menggelar kegiatan pembelajaran tatap muka secara terbatas dan disertai protokol kesehatan secara ketat.
Baca juga: Catatan Dari Viryan Azis Untuk PPDP Se – Indonesia
Ketiga, pemerintah hendaknya bersikap tegas kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan saat mereka berada di luar rumah. Hal ini perlu dilakukan agar tidak muncul kesan bahwa pemerintah bersikap tebang pilih dalam menangani penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat. Kerumunan saat pembagian Bantuan Sosial Tunai (BST), hajatan warga, serta aktivitas lainnya yang melibatkan orang banyak, hendaknya benar-benar menjadi perhatian pemerintah dalam mencegah menyebarnya wabah secara lebih luas.
Dengan demikian, pembelajaran secara daring ini ialah salah satu metode yang sebenarnya efisien untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, namun perlu juga didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, baik oleh murid, maupun oleh tenaga pengajar. (zid/ax/nil/rds)
*Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis