60DTK-EDITORIAL: “Kutukan itu bukan dari orang lain, datangnya dari dirimu sendiri, kamu tak bisa menyalahkan siapapun, salahkan dirimu sendiri”. Demikian petuah seorang pak tua, kala menasehati penguasa di negeri antah berantah.
Keangkuhan dalam mengelola kekuasaan tak baik, kesewenangan dalam menggerakkan pemerintahan pun tak pernah dibenarkan. Pitutur bijak ini jika dijadikan filosofi dalam kehidupan politik, niscaya kebaikan-kebaikan menjadi teman hidup yang akan selalu datang menghampirimu.
Sebaliknya, jika keangkuhan dibalut dengan kesombongan, dihidupi dalam jiwa sebuah pola pemerintahan, tunggulah kehancuran segera datang “menyengatmu”.
Baca juga: Mengenal “Three Idiots” Gorontalo
Anehnya, ada satu fenomena yang sulit terbantahkan, kekuasaan lokal seringkali “gagap” dalam mengaktualisasikan kekuasaan, praktek-praktek kekuasaan dinikmati dengan penuh keangkuhan.
“Entah apa yang merasukimu”, popularitas bait lagu itu terkooptasi dengan sebuah sistem atau rezim kekuasaan lokal secara seksama, dimana ada kelompok kecil mengatasnamakan dinasti lokal yang mulai mengalami keruntuhan.
Saya ingin menamakannya Dinasti “TANPA HAti”. Tentu banyak yang akan bertanya maksud ataupun arti dari Dinasti “TANPA HATI”. Saya mencoba merangkai secara hati-hati arti tersebut dalam perspektif lokal.
Baca juga: Gerakan “Wajah Hitam”
Keruntuhan sebuah Dinasti “TANPA HATI” disebabkan oleh setidaknya tiga faktor utama. Pertama, Sifat angkuh. Keangkuhan faktor utama dan pertama yang mengakibatkan runtuhnya Dinasti “TANPA HATI” karena menganggap orang lain lebih rendah.
Kedua, Pengunaan Kekerasan. Dalam iklim demokrasi saat ini, kekerasan adalah musuh utama. Dengan kekuasaan yang dimiliki Dinasti “TANPA HATI”, pegawai dilingkungan pemerintahan selalu dihinggapi satu ketakutan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena takut akan diintimidasi.
Ketiga, Akhlak yang buruk. Setiap manusia sejak kecil ditanamkan nilai-nilai kebaikan oleh kedua orang tuanya, tujuannya agar supaya kelak anak-anaknya akan menjadi anak yang memiliki akhlak baik, tapi bagi Dinasti “TANPA HATI” akhlak persoalan kesekian kalinya asalkan nafsu berkuasa bisa dijalankan.
Baca juga: Si Aktivis ‘Ketombe’
Sudah saatnya politik lokal kita diwarnai oleh politik dengan menggunakan hati dan perasaan publik. Jangan pernah melawan perasaan publik dalam mempraktekkan kekuasaan lokal, jika tidak nasibnya akan seperti Dinasti “TANPA HATI” yang saat ini mulai mengalami keruntuhan akibat tiga persoalan utama yang dihadapinya, angkuh, penggunaan kekerasan dan kekurangan akhlak.
Next Serial…….
(Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon dimaafkan jika ada kesamaan karakter dalam kisah yang nyata)