Kebiadaban di Bahtera Asing

Pegiat di International Law Corner (ILC) UNG, Ricki J. Monintja. Foto : Dok. Pribadi

60DTK, Opini – Masih jelas kenestapaan yang dialami oleh sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) saat menjadi anak buah kapal berbendera Tiongkok yang terkuak di Peru 2019 silam. Mereka yang sebelumnya dijanjikan bekerja di kapal berbendera Korea Selatan, justru berakhir di Kapal Run Da 610 dan dipindahkan ke Kapal Zhong Ju 18 (keduanya kapal Tiongkok) untuk menangkap cumi-cumi.

Selain kontrak dan gaji yang bermasalah, memancing dan menyortir hasil tangkapan dengan tempo kerja yang luar biasa, menyantap makanan yang expired 2014. Perlakuan kasar kapten kapal yang tidak peduli bahkan saat salah satu dari WNI sakit, dan akhirnya meningal (jenazahnya hampir dibuang ke laut) adalah potret muram yang kini kembali disuguhkan. Sebuah kebiadaban baru yang terungkap di Busan.

Bacaan Lainnya

Masyarakat internasional apalagi Indonesia, kembali terhenyak dengan aksi bengis terhadap warga negaranya. Informasi yang disampaikan oleh CNN Indonesia yang melansir laporan eksklusif dari stasiun televisi Korea Selatan, MBC (Munhwa Broadcasting Corporation), bahwa sejumlah WNI yang bekerja di sebuah kapal ikan berbendera Tiongkok mengalami praktik ekspolitasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Durasi pekerjaan yang mereka lakukan di kapal itu hingga 18 sampai 30 jam, dengan istirahat yang minim. Mereka pun minum air laut yang disaring, sedangkan para awak dari Tiongkok mendapat jatah air mineral dalam botol. Beberapa hal yang tidak sesuai dengan kontrak kerja termasuk upah, kondisi kapal yang sangat buruk sehingga mereka rentan sakit hingga beberapa anak buah kapal WNI tersebut meninggal dan jenazahnya dilarung (sea burial) yang menurut penulis belum tentu sesuai dengan Article 30 Seafarer’s Service Regulation yang mensyaratkan:

  1. Kapal berlayar di perairan internasional;
  2. Mati lebih dari 24 jam atau kematian disebabkan oleh penyakit menular dan telah disterilkan;
  3. Tidak dapat menjaga/menyimpan jenazah karena alasan kebersihan atau pelabuhan melarang kapal menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya.
  4. Sertifikat kematian harus dikeluarkan oleh dokter kapal (jika tersedia).

Saat melakukan pelarungan, pemilik kapal mengadakan upacara kematian yang sesuai/layak dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah jenazah mengambang. Upacara harus direkam atau difoto sedetail mungkin. Peninggalan mendiang, seperti sisa rambut dan barang-barang pribadi akan dipercayakan kepada personel untuk diteruskan ke pasangan atau anggota keluarga dekat mendiang.

Tulisan ini adalah reaksi dari seorang manusia, seorang Warga Negara Indonesia, seorang yang merupakan bagian dari masyarakat internasional. Tindakan cendala itu patut untuk dihujani kutukan dari seluruh area buana. Sebab manusia cukup sering disuguhkan tindakan barbar yang mengusik nurani.

Kepada pelaku, termasuk pemerintah Republik Rakyat Tiongkok perlu penulis sampaikan dengan tegas bahwa hal yang dilakukan kembali kepada Warga Negara Indonesia tersebut adalah suatu hal yang tidak beradab, brutal. Sebagai negara berdaulat dan salah satu bangsa ‘tua’, penulis merasa Tiongkok pasti tahu dan memahami dengan baik bahwa hak asasi manusia merupakan norma internasional yang wajib dipatuhi.

Namun, sekali lagi HAM yang banyak memberikan manfaat kepada makhluk Tuhan Yang Maha Esa dilanggar dengan baik. Padahal Republik Rakyat Tiongkok termasuk sebagai penerima manfaat (beneficiary) atasnya.

Tragedi di segara ini ialah perkara literasi yang wajib disikapi, diseriusi dan disorot. Praktik perbudakan modern di sektor penangkapan ikan tersebut melukiskan pelanggaran HAM dan pengabaian ketentuan hukum internasional yang mencengangkan. Padahal perjalanan panjang dengan niat terhadap kepedulian kemanusiaan yang besar telah dicapai oleh umat manusia dalam segala rumusan hukum HAM internasional.

Larangan atas perbudakan merupakan salah satu prinsip customary international law yang dianggap sebagai norma peremptory  (jus cogens). Sehingga pelanggaran atasnya adalah sebuah hal yang sangat serius dan mencederai hukum internasional. Sehingga negara sebagai entitas utama yang paling bertanggung jawab untuk melindungi dan  menegakkan Hak Asasi Manusia.

Merujuk pada hukum Hak Asasi Manusia Internasional, kebebasan dari perbudakan dan praktik-praktik yang dapat disamakan dengan perbudakan sudah lama ditetapkan, serta negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan tidak boleh mengabaikan hak-hak dan kebebasan dasar manusia.

Masyarakat internasional kontemporer yang akrab dengan sektor kelautan dan perikanan, saharusnya memahami dan patuh pada regulasi yang mengatur tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan. Sebagaimana telah diatur oleh International Labour Organization (ILO), yang memiliki standar dengan bentuk konvensi dan rekomendasi ketenagakerjaan internasional yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan serta kebijakan atas aspek tersebut.

Perbuatan keji yang dialami oleh anak buah kapal WNI di kapal berbendera Tiongkok, mutlak pelanggaran atas tatanan, semangat dan cita Hukum Internasional. Durasi kerja yang ‘gila’, makanan dan minuman yang jauh dari kelayakan, kondisi lingkungan kerja (kapal) yang menjijikan sangat bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 188 tahun 2007 Tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 Tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi yang dilaksanakan di Jenewa itu telah mendasarkan substansi aturannya pada pengakuan, bahwa globalisasi berdampak besar terhadap sektor penangkapan ikan dan berdasarkan Deklarasi ILO 1998 Mengenai Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja.

Melalui konvensi ini pula, ILO berjuang bahwa perlunya melindungi dan senantiasa mempromosikan hak-hak awak kapal yang diantaranya adalah persyaratan usia minimal untuk bekerja di kapal (Konvensi ILO No. 112); persyaratan layanan; akomodasi awak kapal (Konvensi ILO No. 126 tahun 1966); perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (Konvensi ILO No. 155); layanan kesehatan kerja (Konvensi ILO No. 161) perawatan kesehatan dan jaminan sosial (Konvensi ILO No. 102); Pasal-pasal Perjanjian Nelayan (Konvensi ILO No. 114).

Betapa rapinya segala rules di atas. Namun, untaian aturan tersebut seakan dinodai berulang kali. Sebagai international person yang ‘terikat’ dengan aturan hidup dalam kerangka Hukum Internasional, Tiongkok harus segera bertanggung jawab atas hal ini, menginvestigasi secara total serta terbuka kepada Indonesia dan masyarakat internasional atas segala fakta terkait peristiwa tersebut ,dan selanjutnya melaksanakan penegakan hukum termasuk memenuhi segala hak korban sebagaimana mestinya.

Tidak berlebihan jika pengusutan tuntas yang menyeluruh atas kasus ini memuat harapan seluruh manusia. Indonesia pula harus sigap bertindak dengan menggunakan segala jalur yang ada. Meski di sisi lain, sebenarnya tanggung jawab atas kasus ini tidak hanya terdapat pada Tiongkok.

Sebab hal ini bisa disebutkan sebagai salah satu dampak dari keengganan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tahun 2007 sebagai suatu instrumen yang penting. Kali ini negara sudah harus lebih memastikan melalui hukum dan politik luar negerinya, kejadian serupa tidak terjadi lagi terhadap buruh perikanan Indonesia.

Hormat, terima kasih serta doa dari penulis untuk seluruh buruh perikanan Indonesia di segala samudra.

Pos terkait