Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan Untuk Noval Karim

(Foto - LPM Rhetor)

60DTK, Opini – Di tengah udara Gorontalo yang panas manucu, obrolan di warung kopi pojok jalan yang harus ditangguhkan, tanpa jadwal buka puasa bersama karib bangku sekolah, dan perburuan takjil bersama pacar, membuat saya atau bahkan kita semua harus sigap menyesuaikan diri.

Ada yang merasa terbelenggu, ada yang merasa nyaman-nyaman saja. Namun, di tengah ikhtiar menyesuaikan diri ini, saya menyampaikan terima kasih kepada Noval Karim atas usahanya membuka ruang dialog melalui tulisannya yang berbicara panjang lebar tentang kegagalan regenerasi gerakan mahasiswa.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Regenerasi Gerakan Yang Buruk

Bagi saya, tanggapan Noval Karim atas twibbon bertagar Kami Kecewa dengan Gubernur Gorontalo, bagai keberadaan gelas berisi potongan buah-buahan segar ditambah manisnya sirup mar**n yang entah sudah berapa episode iklannya di berbagai stasiun televisi, susu kental manis, dan bongkahan es batu di waktu buka puasa (jika anda membaca bagian ini sebelum buka puasa, tolong jangan dibayangkan, risiko ditanggung sendiri-sendiri), yang menyegarkan dialog di tingkat mahasiswa ketika kuliah online, dan membuat semua mahasiswa harus bergulat dengan keringnya obrolan sehari-hari, kehausan akan humor-humor renyah, dan bagi seseorang yang nirpacar, tentu saja kesunyian.

Karena itu, izinkan saya memberi tanggapan atas pendapat Noval. Sebenarnya saya lebih suka membahas ini langsung bersama Noval di rumah kopi dengan segelas kopi susu hangat, gulungan kertas berisi daun kering bersama cengkeh yang dibakar perlahan dari ujungnya, dan percakapan yang menjelajahi ragam batas imajinasi. Tapi, karena Gubernur Gorontalo baru saja mengumumkan PSBB lanjutan, maka alangkah baiknya saya menyampaikan tanggapan melalui tulisan.

Baca juga: Suatu Penawar Untuk Kesalahan Memahami Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tanggapan ini berusaha untuk meninjau kembali argumentasi Noval yang berkesimpulan bahwa gerakan mahasiswa gagal paham tentang usaha pemerintah provinsi melakukan realokasi dana beasiswa untuk penanganan Covid-19. Menurut Noval, gagal paham ini karena mahasiswa tidak ingin mengorbankan kepentingan dirinya di tengah pandemi yang menghasilkan berbagai persoalan pelik. Akhirnya, Ia membandingkan definisi gerakan mahasiswa menurut Arbi Sanit (1999) dan sikap “narsis” -katanya, oleh mahasiswa Gorontalo yang menggunakan tagar kekecewaan.

Bagi Noval, mungkin twibbon dan tagar kekecewaan adalah pertanyaan penting atas ketiadaan moral mahasiswa ketika banyak pihak membutuhkan realokasi anggaran provinsi, termasuk dana beasiswa. Namun, saya dengan hati-hati mengambil sikap yang berbeda dengan Noval. Alih-alih menganggapnya sebagai sikap reaksioner mahasiswa, saya ingin melihat gerakan ini sebagai bentuk kritik dasar yang sebenarnya sah-sah saja untuk disampaikan.

Baca juga: Berjuang Dengan Pena: Cara Perjuangan Ala Kartini

Kritiknya sederhana. Di tengah ketidakpastian penurunan UKT, merosotnya kondisi sosio – ekonomi, mahasiswa juga harus membayar tanggungan perkuliahan agar dapat melanjutkan studinya. Karena itu, diperlukan bantuan dana beasiswa. Lantas apakah dengan demikian mahasiswa tidak memperhatikan situasi penanganan Covid-19 lebih luas? Nyatanya tidak. Kami memperlihatkan terdapat anggaran yang tidak begitu urgen, seperti perbaikan Jalan Jhon Ario Katili sebesar Rp24 miliar. Lagi pula, jika pemerintah provinsi menginginkan semua warganya lebih banyak berada di rumah, maka bukankah perbaikan jalan dapat ditunda? Dengan dasar yang demikian, maka anggapan Noval yang menyebutkan bahwa ini merupakan bentuk lunturnya gerakan moral, tentu saja merupakan penilaian yang terburu-buru.

Kedua, Noval harusnya melihat bahwa pembacaan terhadap kondisi sosial tidaklah bersifat “hitam-putih”. Dengan kata lain, mempersoalkan realokasi dana beasiswa bukan berarti memusuhi pemerintah dan tidak memedulikan proses penanganan corona di Gorontalo. Pandangan Noval yang memosisikan gerakan mahasiswa ber-twibbon sebagai usaha yang tidak pro-rakyat kecil, jelas keliru.

Baca juga: Berbisnis Opini Di Tengah Pandemi

Dana beasiswa justru dapat menjamin bahwa dalam situasi ekonomi yang sulit di tengah pandemi karena hasil panen yang sulit dipasarkan, tempat pelelangan ikan yang sepi pengunjung, bentor yang harus lebih banyak “dikandangkan”, pemotongan gaji, usaha dengan laba yang tak menentu, PHK, dan ketiadaan pemasukan ekonomi lainnya, anak-anak Gorontalo tetap dipastikan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Karena itu, protes terhadap realokasi dana beasiswa berarti juga perjuangan untuk memastikan akses pendidikan dapat terjamin dalam situasi ekonomi yang berat.

Terakhir, dengan menggunakan definisi Arbi Sanit (1999),  Noval harusnya tidak perlu segera terkungkung dalam prasangka yang berlebihan terhadap gerakan mahasiswa ber-twibbon. Bukan hanya mahasiswa, kita semua, setiap warga negara, punya tugas mengawasi jalannya pemerintahan apa pun kondisinya. Tidak perlu banyak pemaparan kajian teoritik untuk ini—selain terlalu banyak dan bisa diperiksa sendiri—karena sudah sepatutnya demokrasi memberikan ruang bagi tiap-tiap warga negara, baik penulis, Noval Karim, abang bentor, petani, nelayan, buruh, kuli bangunan, pedagang asongan, mahasiswa, guru, dokter, perawat, mahasiswa, dan semua yang mengaku diri sebagai warga Gorontalo.

Baca juga: Tanggung Jawab Seorang Rusli Habibie

Gerakan twibbon hanyalah salah satu bentuk ekspresi berdemokrasi saja. Tidak perlu ada prasangka yang berlebihan jika kritik diluncurkan kepada pemerintah. Penulis juga yakin bahwa pemerintah tidak akan bersikap reaksioner terhadap kritik dari mahasiswa, bahkan alangkah lebih baik jika pemerintah dapat memberikan tanggapan atas kritik terkait realokasi dana beasiswa. Jika pemerintah berhasil menjawab dengan studi yang cermat, maka bukan tidak mungkin dialog yang konstruktif ini dapat menggugah kembali spirit mohuyula dalam setiap ikhtiar untuk berjibaku di tengah pandemi. (rds)

Penulis: Wahyu Margono, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Gorontalo. (Foto – Istimewa)

Pos terkait