60DTK-Opini: Tepat dua tahun lalu, tanggal 21 April 2017, saya menjadi moderator dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Gorontalo (UNG), dengan Bapak Drs. Joni Apriyanto, M.Hum, sebagai pemateri. Kegiatan ini mengusung tema R. A. Kartini sebagai sosok perempuan pejuang emansipasi wanita di zamannya. Beragam pertanyaan muncul kala itu. Akan tetapi, dari berbagai pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang menurut saya sangat familier, dan sampai saat ini selalu menjadi kontradiksi di kalangan sejarawan Indonesia, yakni menyangkut Jawa-sentris.
Kritik terhadap Jawa-sentris memang perlu, apalagi berbicara terkait ketokohan dalam lintasan sejarah, baik perjuangan, eksistensi, dan lain sebagainya, itu perlu dibahas. Saya pun dalam salah satu artikel, mengkritik dominasi Jawa dalam tulisan sejarah. Jika ditelaah lebih jauh, bahan ajar yang digunakan di sekolah – sekolah di Indonesia lebih mengutamakan sejarah Jawa. Tetapi dalam kritikan tersebut, saya melihat tupoksi yang memang seharusnya dikritik.
Baca juga: Cerita Dari Sampul Belakang & POTOH, Napas Terakhir Perang Ideologi
Kritik terhadap dominasi tokoh pejuang yang berada di Jawa tidak salah, akan tetapi perlu telaah dan pengkajian yang mendalam. Hal ini karena setiap tokoh punya cara berjuang yang berbeda – beda. Ibarat pepatah, “Setiap masa pasti ada orangnya, setiap orang pasti ada masanya,” Kartini juga punya masanya, dan kita harus menghargai masa itu.
R. A. Kartini, Sebenarnya Siapa?
Raden Ajeng Kartini adalah anak seorang bangsawan asal Jepara. Sejak remaja, rasa kepedulian sosialnya tumbuh di kalangan anak – anak perempuan yang terdiskriminasi. Akan tetapi, rasa tersebut terpendam begitu saja melihat kultur di mana perempuan Jawa yang lebih rendah dari laki – laki, kultur yang sudah demikian lamanya tertancap di kalangan masyarakat Jawa. Seiring berjalannya waktu, hal ini makin menjadi – jadi, tatkala Kartini ingin dipersunting oleh seorang bangsawan yang memiliki banyak istri, sehingga rasa melawan itu muncul.
Baca juga: Olongia Dan Kuasa, Potret Kiprah Perempuan Gorontalo
Selain itu, dalam tulisan McTurnan Kahin (2013), Kartini merupakan perempuan pertama yang mencetuskan pendidikan. Kartini berpendapat bahwa hanya melalui pendidikan, kondisi bangsanya dapat terangkat sejajar dengan orang – orang Belanda lainnya. Akhirnya pada tahun 1902, Kartini mendirikan sekolah bagi anak – anak perempuan. Hal ini merupakan bukti bahwa Kartini memang benar – benar berjuang demi perempuan.
Cara Berjuang
R. A. Kartini tentu berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang berjuang dengan menggunakan fisik untuk melawan Kolonialisme. Beda pula dengan Cut Nyak Meutia melawan Belanda dengan sebilah rencongnya, begitu juga dengan Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata kala berhadapan dengan Belanda. Kartini hanya berjuang dengan pena. Melalui tulisan, Ia melawan. Kritikan – kritikannya terhadap penjajah Belanda sangat tajam, bahkan bisa saja setajam rencong yang digunakan Cut Nyak Meutia, dan senjata yang digunakan Martha Christina Tiahahu. Pramoedya Ananta Toer (2006) dalam tulisan yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja mengungkapkan bahwa perjuangan Kartini juga melalui seni. Seni utama yang dikuasainya adalah mengarang (menulis).
Baca juga: Monolog, Puisi, Dan Lagu Sendu Dalam Refleksi GESTAPU Di Akhir September
Kartini banyak berkorespondensi dengan tokoh – tokoh feminis, dan tujuannya mengkritik melalui tulisan tak lain adalah demi memperhatikan nasib perempuan Jawa. Dengan tulisannya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang, kartini berusaha mengungkapkan sosok perempuan yang tidak punya hak dan kebebasan, persamaan derajat perempuan, serta tentang perempuan yang tidak memiliki pendidikan tinggi yang setara dengan orang – orang Belanda dan laki – laki. Semuanya merupakan kritik tajam yang memukul hati orang – orang Belanda. Memang tidak tampak, namun cukup menyentuh, sehingga bisa dikatakan bentuk perjuangan Kartini adalah melawan dengan hati.
Dalam memperjuangkan emansipasi wanita Jawa pada saat itu, Kartini memiliki hambatan cukup keras, bahkan tantangan didapatkan di mana – mana. Bukan hanya dari pihak Belanda, tetapi tantangan yang lebih parah datang dari kultur perempuan Jawa, perempuan yang siap nikah kapan saja dikehendaki, perempuan Jawa yang tidak memiliki masa depan, yang harus siap diperistri oleh laki – laki yang bahkan sudah memiliki istri dua, empat, enam, bahkan lebih (budaya patriarki). Dengan adanya kritikan – kritikan melalui tulisan Kartini, budaya seperti ini lambat laun mulai redup dan berangsur – angsur membaik. Perempuan Jawa perlahan mulai mendapatkan tempat yang layak, bahkan sudah ada yang mengenal pendidikan.
Baca juga: Memperingati G30S/PKI, Mahasiswa Sejarah UNG Gelar Aksi Refleksi
Walaupun emansipasi yang diperjuangkan Kartini hanya untuk perempuan Jawa, tetapi refleksi dan nilai perjuangannya bisa dirasakan oleh perempuan – perempuan lain di Indonesia. Bahwa kedudukan antara laki – laki dan perempuan adalah sama. Yang membedakan hanyalah kodratnya. (rds)