Cerita Dari Sampul Belakang & POTOH, Napas Terakhir Perang Ideologi

Salah satu deklamator monolog, Nikhen Mokoginta dalam Aksi Refleksi GESTAPU yang diselenggarakan oleh Sampul Belakang, POTOH, Gorontalo Good Sunday, dan Mejoes Coffee di depan kampus UNG, Senin (30/09). (Foto - Eko Suleman)

60DTK-GORONTALO:Genjer-genjer nong kedokan pating keleler…” Lagu Genjer – Genjer menggema melalui pengeras suara yang tersusun rapih tepat di sebuah teater dadakan kecil di depan Gerbang Kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Senin (30/09).

Semua mata seketika terpana, kepala menoleh ke sana – ke mari mencari sumber suara. Berusaha menerima dalam diam, orang – orang di sekitar gerbang UNG itu mulai menegakkan badan. Ada yang sambil berkacak pinggang, ada pula yang dengan sorot mata mulai tajam melipat kedua tangan di depan dada, menunggu.

Bacaan Lainnya

Seorang perempuan berpakaian hitam merah merengsek ke atas panggung. Berdiri dalam diam sambil memegang beberapa lembar kertas, seakan begitu menikmati lagu yang masih mengalun. Lalu ketika Genjer – Genjer berhenti mengalun, sebuah musik lain menyongsong, kali ini lebih ngeri meski tanpa lirik.

Baca : Monolog, Puisi, Dan Lagu Sendu Dalam Refleksi GESTAPU Di Akhir September

Salah satu deklamator puisi, Ifa Aulia Magfirah bersama Shandi Igirisa dalam Aksi Refleksi GESTAPU yang diselenggarakan oleh Sampul Belakang, POTOH, Gorontalo Good Sunday, dan Mejoes Coffee di depan kampus UNG, Senin (30/09). (Foto – Eko Suleman) 

Angin bertiup tanpa prasangka menyapa pohon-pohon di desa Kanigoro, Madiun, Jawa Timur,” perempuan itu membuka suara, mulai membaca tulisan di dalam kertas yang sejak tadi Ia pegang erat. Selanjutnya, lantunan monolog panjang menggema, keluar tegas dari mulut si perempuan, masih diiringi alunan musik yang mendayu sendu dan ngeri.

Satu tangan keras dan kukuh mengayunkan arit dengan pekik menjerit. Memotong kepala di depannya,” tegas perempuan yang diketahui bernama Nikhen Mokoginta itu, mengakhiri monolog sesi pertamanya.

Alunan musik berubah. Jika tadi terkesan mengerikan, kali ini menjadi lebih sendu dan mengiris dada pilu. Itu lantunan lagu Merpati Putih karya Erwin Gutawa tanpa lirik. Di sekitar teater dadakan itu, orang-orang masih diam, menunggu kelanjutan cerita yang dibawakan si deklamator monolog.

Baca : Memperingati G30S/PKI, Mahasiswa Sejarah UNG Gelar Aksi Refleksi

Host, Gina Gerimis Bening saat membuka Aksi Refleksi GESTAPU yang diselenggarakan oleh Sampul Belakang, POTOH, Gorontalo Good Sunday, dan Mejoes Coffee di depan kampus UNG, Senin (30/09). (Foto – Eko Suleman) 

Cita-cita komunisme yang anti penindasan manusia satu atas manusia lainnya mulai berada di ujung tanduk. Hari-hari kejatuhan partai komunis tampaknya tak akan terelakkan lagi,” sahut perempuan tadi tiba – tiba, masih membaca naskah di tangannya yang kian bergetar tak karuan.

Sore itu, 1.232 orang komunis mati dalam sebuah pembantaian yang singkat. Mengakhiri sejarah partai komunis di kota itu, dan bahkan di negeri ini,” lanjutnya.

Susunan kata demi kata terus Ia lantunkan. Beberapa orang yang berdiri cukup jauh dari teater mencoba maju lebih dekat. Dua belas paragraf selesai, dengan sorot mata tajam perempuan itu berbalik, disambut seorang laki – laki yang tanpa kata menggantikan posisi perempuan itu di atas panggung. Musik berganti lagi, kali ini menyedihkan. Lantunan musik Gugur Bunga tanpa lirik.

Baca : Paguyuban Buol Gelar Refleksi: Kemerdekaan Adalah Hak Seluruh Rakyat Indonesia

Revolusi Indonesia haruslah merupakan revolusi rakyat yang dalam perjuangannya sebagai bangsa, menuntut hak-haknya sebagai bangsa untuk jaminan kemanusiaannya dan jaminan bahwa ia tidak akan diperlakukan lagi sebagai budak belian,” baca laki – laki yang juga berpakaian hitam merah itu, tegas. Rupanya Ia mulai membacakan kesimpulan dari dua bagian monolog yang digaungkan tadi. Rizaldy namanya.

Dari sudut – sudut jalan, orang – orang kian berdatangan, penasaran dengan apa yang sedang terjadi di depan kampus peradaban itu. Lalu dengan sekali hentakan, sorot mata sendu ibarat memohon, Rizaldy menutup monolog malam itu.

Apa gunanya aku, kamu, dan kita, memiliki kekuatan jika pada akhirnya kita tidak saling melindungi.

Baca : Dianggap Melemahkan KPK, Gorontalo Tolak Revisi UU KPK

Riuh rendah tepuk tangan mengalun. Tapi, belum habis orang – orang mengapresiasi, dua orang laki – laki lekas mengganti posisi Rizaldy di atas panggung, yang diketahui keduanya bernama Faisal Saidi –sebagai pembaca puisi, dan Shandi Igirisa –sebagai pengiring.

Alunan puisi penutup menggelegar. Faisal membawakannya dengan marah yang membuncah, Shandi mengiringinya dengan petikan yang teramat sendu, hingga berakhir dengan tangisan pilu.

Aku ingin mati dalam keadaan kiri,” teriak Faisal menutup lantunan puisinya, dengan air mata yang mulai kering.

Baca : Pers Gorontalo Serukan Penolakan Revisi RKUHP!

Aksi refleksi yang digalang oleh Komunitas Literasi Sampul Belakang, bekerja sama dengan Komunitas Potret Tokoh (POTOH), Gorontalo Good Sunday, dan Mejoes Coffee itu selesai, disambut tepukan tangan yang mengharu – biru, begitu keras dari tiap sudut jalan, dari tiap kepala yang menyaksikan. (rds/60dtk)

 

 

.

Pos terkait