60DTK – Opini : Ciri pembeda manusia dan hewan adalah kemampuan berpolitik, selain rasio dan kesanggupan untuk tertawa. Hewan tidak mampu berpolitik, itu sebabnya tidak ada hukum di rimba amazon. Yang berlaku adalah memangsa dan dimangsa! Ini bukan hukum dalam artian sesungguhnya malainkan keharusan pemenuhan kebutuhan.
Seekor tupai tidak akan bisa melakukan protes ketika anaconda melilit dan menghabisnya. Keluarga tupai pun tidak punya tempat mengadu selain berlari dan bersembunyi. Definisi yang diberikan kepada istilah politik bisa bermacam-macam, dalam literatur masing-masing ahli/akademisi ilmu politik membangun dan memiliki definisinya masing-masing.
Tentu tidak ada masalah dengan hal itu. Selama definisi yang dibangun memberi corak positif terhadap karikatur bernama politik itu sendiri dan sama sekali tidak mengajarkan kerakusan! Sayangnya yang terbangun dibenak masyarakat pada umumnya adalah, politik itu siasat memperkaya diri dengan cara apapun! Bukan tanpa alasan, Korupsi erat melekat pada politik seperti dekatnya nadi dan pembuluh darah di tubuh manusia.
Stigma pun terbangun, politik itu selalu berkonotasi negatif. Padahal dalam sejarahnya ada yang mulia dari politik, pernah politik mempertontonkan usaha untuk membuat manusia kian hari kian adil dan sejahtera. Sejarah mencatatkan nama-nama yang patut diperhatikan dalam melihat sisi baikdari politik.
Tercatat Karl Marx, filsuf yang juga aktif dalam aktivitas politik. Kita tidak hendak membicarakan aktivitas politik seorang sosok enigmatik ini, maupun pelembagaan pemikiran Marx dalam institusi politik tertentu. Yang kita hendak percakapkan adalah bagaimana Marx dengan niat serta segenap kemampuannya juga kedalaman analisisnya, memberikan jalan berpikir untuk mengerti mekanisme eksploitasi terhadap buruh terjadi. Perampasan hak dan pengusiran para kaum proletar dari lahan-lahan garapan individu yang kemudian dipaksa menjual tenaganya menjadi komoditi di pabrik modern, terjadi dengan bantuan proses politik.
Sekaligus jalan keluarnya pula melalui proses politik itu sendiri. Pembahasan tuntas atas karya Marx bukan merupakan tujuan dari tulisan ini, bahkan terkonstruksinya sosok Marx dalam tulisan ini hanya bagian terkecil dari apa yang bisa diceritakan tentangnya.
Marx memeras pikirannya dan menghabiskan hidupnya dengan mengabdikan diri dalam usaha-usaha baik praksis maupun teoritis guna membebaskan manusia dan segala kerakusan sesama manusia. Bukankah itu senafas dengan tujuan para pendiri negara ini? Ditilik dari sisi itulah politik seharusnya dimaknai! Usaha terorganisir untuk mencapai tujuan bersama demi kemakmuran bersama. Budayawan, Intelektual, Agamawan tampil diberbagai media, baik cetak maupun eletronik. Tak jarang mereka beradu; Budayawan versus Budayawan, Intelektual versus Intelektual, Agamawan versus Agamawan. Kepada merekalah tujuan di atas diembankan.
Perdebatan memang tidak terelakkan, selama itu tampil di dalam niat luhur memperjuangkan hal terbaik bagi warga negara tentu tidak ada soal. Tetapi apakah memang mereka tampil dalam usaha ‘niat luhur’ seperti yang disebutkan sebelumnya? Tidak ada alat ukur untuk mengukur motif moral/personal itu. Seberapa luhur dan siapa atau pihak mana yang luhur damarkasinya sangat kabur. Yang tidak bisa dibantah adalah realitas dari realisasi perdebatan itu sendiri. Sejauh mana perjuangan keras di dalam debat talk show termanifestasi dalam praksis di lapangan.
Berapa jumlah orang miskin yang telah berhasil diperjuangkan taraf layak hidupnya, apakah upah buruh telah cukup membiayi anaknya melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, di tengah masifnya komersialisasi pendidikan? berapa ratus hektar hutan adat milik masyarakat adat telah diakusisi menjadi tempat hiburan/hotel/perkebungan monokultur milik perusahaan privat?
Pertanyaan di atas memotivasi orang seperti Karl Marx untuk tidak hanya berhenti ditahap argumentasi namun juga berpraksis berdarah-darah mewujudkan setiap argumentasi. Aforisme Marx; para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubahnya. Di masa lalu pun terjadi berbagai revolusi, di Perancis misalnya, kumune Perancis meledakkan momentum menjadi peringatan monumen bersejarah yang turut mewarnai tumbuh dewasanya negara itu, dalam konteks Indonesia, reformasi 1998 menjadi ekspresinya. Pemicunya tidak lain adalah efek deterministik parameter yang disebutkan di atas.
Bibit pembaharuan tumbuh dari efek krisis dan disparitas. Kita tidak akan mampu membendung bila hal itu terjadi, titik didihnya ketika orang-orang mulai bosan dengan apa yang dipertontonkan dan apa yang terjadi dalam realitasnya. Kapan meledak? Tidak ada yang tahu. Yang kita punyai adalah data masa lalu dan sekarang, dengan itu masa depan coba kita raba.
Politik adalah pembicaraan hal-hal yang baik, karena itu ia menjadi salah satu Fakultas dibanyak Universitas. Kita mengenal sebutan ahli dan ilmuwan politik. Tidak ada yang disebut ‘ilmu’ mengajarkan keburukan dan ketamakan. Semua ilmu berdiri di bahu penjelasan, penjelasan lahir karena usaha memahami yang samar, menembus keragu-raguan. Sebaiknya kita memikirkan politik juga dalam kerangka itu.
Pikiran tentang politik sama kedudukannya dengan pikiran tentang fisika. Ada metodologi, tertib berpikir, dan cara pandang yang harus dimengerti. Lewat karya yang ditulis para intelektual politiklah kita menimba pemahaman mengenai politik. Hal itu menjadi penting agar pemahaman mengenai politik tidak berputar-putar pada hal yang serba buruk; fitnah, propaganda, korupsi, keuntungan, kerakusan dsb.
Literasi sedang galak-galaknya mekar di berbagai tempat, seperti tumbuhnya jamur di musim hujan. Momentum baik bagi kita untuk mulai pelan-pelan mencari sesuatu yang bermanfaat dari politik. Karya dari orang seperti Karl Marx bisa jadi pintu masuknya. Modal bagi kita untuk menjadi manusia politik dan bukan manusia yang dipolitisasi.
Manusia yang dipolitisasi tidak sadar akan apa sedang melingkupinya, bagaimana keadaan yang terjadi disekitarnya dibentuk oleh proses politik yang tak kasat mata. Tidak mampu menemukan kontradiksi dari apa yang seharusnya dan apa yang sedang terjadi. Sedangkan manusia politik adalah mereka yang mengerti mengapa ini terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana harus menyikapinya.
Kekacauan semantik dari istilah politik diakibatkan karena ketidakmampuan kita melihat politik sebagai ranah keilmuan dan terjebak dalam sumbu pendek pengertian politik; Politik artinya merebut kekuasaan dan berkuasa selama-lamanya. Ekses negatif ini hulunya ada pada perilaku politik yang diperlihatkan politikus lewat korupsi kekayaan negara dan keenggangan untuk digantikan.
Usaha mengembalikan kesucian politik dalam pandangan umum tidak bisa tidak harus dimulai dari cara melihat politik sebagai suatu studi, dan berjalan melewati rel studi itu. Hanya dengan cara itu pembahasan dan perdebatan politik bisa kembali menemukan keriang-gembiraannya. Kesenangan memaparkan analisis dan sistematisasi, tidak terjebak dalam caci-maki yang tidak membawa manfaat apapun. Malah bermuara korosif dengan menghancurkan keakraban sesama warga negara.Warga negara memang harus belajar politik, semaksimalnya mengerti politik.
Bila tidak, politik akan menjadi tempat mekarnya kejahatan. Politik adalah kebun bunga bersama tempat warga negara bermain dan bergembira, bunga di kebun itu disirami dan dipupuk perdebatan konstruktif dan praktik kamanusian. Dua pilar yang menjaga keberlangsungan manusia. Manusia dan politik tidak mungkin berpisah dan saling menafikkan. Politik adalah ciptaan manusia untuk manusia. Itulah raison d’etredari politik, Harusnya kita nikmati.
Penulis :
Pramono Pido
Dari Proletar ke Proletariat