Menerawang Konflik, Dari Sisi Ketimpangan Sosial.

Foto Bersama Pembicara dan peserta diskusi Konferensi Tahunan Keadilan Sosial. 8/12. Foto : (Istimewa).

60DTK – Gorontalo : Konferensi Tahunan Keadilan Sosial resmi berakhir, Sebanyak 101 orang peneliti muda, cendekiawan, akademisi, dan juga aktivis secara paralel memaparkan hasil penelitian mereka terkait dengan latar belakang keilmuwannya dan kaitannya dengan keadilan sosial.

Konferensi Keadilan Sosial ini diawali dengan tiga pembicara kunci pada Sabtu pagi, 7 Desember 2018. Mereka adalah Rektor Universitas Widya Mataram: Prof Dr Edy Suandi Hamid M.Ec, Rektor Universitas Hasanudin Makassar: Prof DR. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo: DR. Dr. M. Isman Jusuf, Sp.S.

Bacaan Lainnya

Panel Diskusi tersebut di moderatori oleh Basri Amin yang notabene seorang peneliti sekaligus akademisi.  Ketiga pembicara itu, silih berganti memaparkan materi tentang ketidakadilan sosial yang sedang terjadi di Indonesia.

Prof. Edy Suandi ia menjelaskan makna dan praktik keadilan di Indonesia, dimana keadilan merupakan sebuah amanah sekaligus cita-cita yang tertuang jelas pada sila ke-5 Pancasila. Namun di Indonesia, keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial maupun politik.

“Jika dilihat dari sisi ekonomi hal ini tercermin melalui tingginya ketimpangan pendapatan yang terjadi.” Paparnya.

Indonesia tahun pada 2017 menunjukkan bahwa 46,89% total pengeluaran Indonesia dinikmati oleh 20 % penduduk dengan pengeluaran terbesar. Sementara 40 % penduduk dengan pengeluaran terendah hanya menikmati 17,02 % total pengeluaran Indonesia.

“Data ini menunjukkan bahwa “kue ekonomi” Indonesia lebih banyak dinikmati oleh seperlima penduduk dengan pengeluaran terbesar.”

Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak serta merta menurunkan tingkat ketimpangan. Hal ini karena pertumbuhan pendapatan orang kaya jauh di atas orang miskin.

“Ketimpangan mendeskripsikan adanya gap atau jurang antara masyarakat berpendapatan tinggi (kaya) dengan masyarakat berpendapatan rendah (miskin),” ujar Prof Edy Suandi Hamid.

Dilain sisi Prof DR. Dwia Ariestina Pulubuhu selaku Rektor Universitas Hasanudin Makassar ini banyak menjelaskan tentang penyelesaian konflik sosial yang berkeadilan.

latar belakang masyarakat Indonesia yang plural, baik itu pluralisme budaya, pluralisme politik, dan juga pluralisme power, serta secara geografis, masyarakat Indonesia memiliki akses berbeda terhadap sumber daya sosial, ekonomi dan politik.

“Konflik bersumber dari ketidakadilan. Baik itu ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan ketidakadilan sosial,” ungkap Prof Dwia  yang juga seorang ahli sosiolog ini.

Menurutnya ada beberapa isu utama konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia saat ini yang bersumber dari ketidakadilan.

“Yakni isu demokrasi dan desentralisasi, bentuk kekerasannya insiden terkait pilkada dan pemekaran. Isu konflik lahan; perebutan lahan dimana bentuk kekerasannya adalah perkelahian, penganiayaan, hingga pembunuhan.” Imbuhnya.

konflik indentitas adalah perbedaan suku, ras, dan agama, dimana bentuk kekerasannya yaitu perkelahian kelompok dan kerusuhan. Serta isu korupsi yang terkait dengan buruknya kinerja pemerintahan, dan bentuk kekerasannya adalah pengerusakan dan demonstrasi. (rls/zm).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan