60DTK-Gorontalo: Beberapa waktu terakhir, pengangkatan seorang pejabat yang masih berstatus tersangka, di lingkup Pemerintah Provinsi Gorontalo, cukup menuai banyak komentar. Terlebih karena sorotan yang dilakukan oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Gorontalo.
Komentar pun tidak hanya datang dari para pegiat politik, namun juga dari mahasiswa dan aktivis, salah satunya oleh seorang aktivis Komunitas Rumah Integritas, Jupri. Ia menuturkan, penetapan seseorang sebagai tersangka bukan berarti menjadi batasan bagi orang tersebut untuk memiliki hak – hak sebagai warga negara.
“Penetapan seseorang sebagai tersangka bukan berarti hak – haknya sebagai warga negara langsung dibatasi. Termasuk dalam konteks pengangkatan Pejabat Eselon II di Provinsi Gorontalo baru – baru ini,” ujar Jupri di sela – sela aktivitasnya, Kamis (16/01/2020).
Baca juga: GORR Kembali Disorot, Charlie: Itu Lelucon Tahun Baru
Ia menjelaskan, yang harus menjadi dasar pertama untuk hal seperti ini adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yang harus dihormati. Baginya, hal itu sejalan dengan penjelasan umum butir 3C KUHP.
“Butir 3C KUHP menegaskan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini berbeda dengan konsep hukum acara di Amerika yang menganut asas presumption of quilty atau perkara money laundry,” terang akademisi itu.
Selain itu, Ia juga menjelaskan, sebagaimana diatur dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, bahwa pembatasan hak setiap warga negara hanya bisa melalui Undang – Undang (UU), Pasal 28J ayat 2. Maka, selama tidak ada UU yang menyatakan bahwa seorang tersangka tidak bisa dilantik sebagai Pejabat Eselon II, maka secara hukum tidak ada yang dilanggar.
Baca juga: Kasus Pimpinan Tinggi Pratama Jadi Sorotan, BKD: Kata KASN, Jangan Diskriminatif
“Harus kita pahami bahwasanya jabatan itu adalah kerja – kerja pelayanan publik. Artinya selama yang diangkat sebagai Pejabat Eselon II tersebut tidak menjalani masa penahanan oleh aparat penegak hukum, maka menurut hemat saya tidak mengganggu kerja – kerja pelayanan publik ke depan,” lanjutnya.
Ia pun menegaskan secara detail bahwa, mengatakan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dapat mengganggu kerja – kerja pemerintah, hanyalah sebuah asumsi, bukan fakta yang terjadi di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo.
“Emang sudah dirasakan oleh yang bersangkutan kerja pemerintah terganggu? Kan belum, jadi itu bagi saya hanya asumsi saja. Berbeda ketika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana. Maka secara otomatis mengganggu kerja – kerja pemerintahan di Provinsi Gorontalo ke depan. Nah, itu baru tidak boleh dilantik, pasti mengganggu karena yang bersangkutan tidak berada di tempat,” terangnya.
Baca juga: 195 Pejabat Pemprov Gorontalo Resmi Duduki Jabatan Baru
“Publik harus jujur dan adil melihat persoalan hukum di Gorontalo, jangan sampai publik hanya menilai kasus korupsi yang melibatkan ASN saja, sementara kepala daerah yang berstatus tersangka justru diabaikan,” pungkas Jupri.