Di Gorontalo, Salah Bicara Bisa Gagal Jadi Pemimpin

(Ilustrasi - Istimewa)

60DTK-GORONTALO – Begitu sakralnya gelar adat sebagai pulanga. Mereka yang menyandangnya harus sangat berhati – hati dalam bertindak maupun bertutur kata. Jangankan tokoh biasa, raja pun bisa lengser jika melanggar batasan itu.

Pemangku adat Goronralo, Karim Laiya Baa’te lo Hulondalo berkisah, sekitar pada abad 17 silam, pernah ada seorang calon raja di Gorontalo yang batal menduduki singgasana hanya karena salah bicara.

Baca juga : Sebagai Penyandang Pulanga Tinepo, Rachmat Gobel Harus Menjaga Tutur Kata

Ceritanya begini. Hari itu si calon raja tengah bersiap untuk menjalani prosesi penobatan dirinya menjadi raja sebuah negeri. Pemangku adat sudah selesai bermusyawarah, pakaian kebesaran sudah dikenakan, sang raja pun siap bertahta di singgasana.

Tapi sayang, jelang penobatan, kuda kesayangan sang calon raja terluka parah akibat terkena tombak orang tak dikenal. Kabar tak sedap itupun sampai ke telinga si calon raja, dan memantik kemarahannya.

Spontan si calon raja berucap “Wanu mo tapu’u, Pohutu’u odiye,” yang artinya, kalau saya ketemu pelakunya, saya akan bikin serupa yang dialami kudanya.

Ucapan calon raja itu terdengar oleh pemangku adat. Seketika, para Baa’te langsung menggelar sidang adat dan membatalkan penobatan tersebut.

Calon raja pun, batal menduduki singgasana hanya karena masalah tersebut. Karena Ia tak mampu mengontrol emosinya, hingga mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.

Dari cerita itu, bisa diambil kesimpulan bahwa mereka yang dinobatkan sebagai Tauuwa, harus benar – benar membatasi cara bersikap dan bertutur kata. Karena pulanga tak sekedar menjadi pagar, namun di waktu yang sama juga bisa menjadi hukuman, jika para Ta’uwa itu melanggar. (rls)

 

 

Sumber : Hulondalo.id

Pos terkait