60DTK-Gorontalo: Perjalanan ke danau limboto sore (28/8/) ini ditemani terik matahari yang tak mau bersahabat. Panasnya tembus hingga ke kulit. Padahal kemeja yang saya pakai sudah cukup untuk menutupi kulit dari teriknya. Panas yang saya rasakan ini bukan kali ini terjadi, tapi dalam keseharian juga apalagi kalau musim kemarau tiba.
Penampakan nyata musim kemarau itu bisa dilihat dengan mulai merosotnya air di danau Limboto. Dengan mulai surutnya air danau Limboto menambah perjalanan panjang keberadaan danau Limboto yang diprediksi akan hilang pada tahun 2025. Danau Limboto ini juga termasuk 1 dari 15 danau di Indonesia yang dinyatakan kritis.

Dengan terik matahari yang panas itu, nampak dari arah 200 meter di bibir jalan yang dibangun oleh pemerintah, kekeringan danau Limboto terlihat jelas. Kiri dan kanan tidak ada air danau yang tersisa, yang ada hanya endapan lumpur yang mengering dan pecah-pecah akibat kekeringan yang melanda.
Motor yang biasa saya parkir di bahu jalan, kini bisa diparkir beberapa meter masuk ke dalam. Dermaga yang dulunya di atas air danau, kini hanya menjadi bangunan biasa saja, tak berfungsi seperti dulu sebagai jalan alternatif warga atau nelayan. Perahu nelayan yang biasanya menambat di bawah dermaga, kini harus menepi jauh lagi ke dalam. Sekiranya 60 meter dari dermaga itu berdiri.
Perjalanan saya lanjutkan hingga ke tempat perahu-perahu nelayan danau memakirkan perahunya. Sambil berjalan menuju ke sana, lansekap bukit-bukit yang terletak di daerah Batudaa-Bongomeme menyejukan mata, serta burung-burung yang singgah di danau Limboto untuk sekadar mencari makanannya.
Tapi dari arah kejauhan juga, ada aktivitas yang tak kalah sibuknya dari aktivitas nelayan danau yang tengah siap-siap pergi untuk mengail, demi menghidupi sanak keluarganya. Aktivitas itu, para penambang pasir yang memanfaatkan sisa-sisa lubang di area danau yang mengering dan mengeruk pasirnya untuk dijual kepada pembeli.
Secercah Harapan
Saat ini waktu menunjukan pukul 16.40 Wita, itu tandanya Salat Asar telah berlalu. Pada waktu inilah, Ramin (62) pergi mengail ke danau Limboto. Ramin adalah nelayan danau yang hampir keseluruhan hidupnya dihabiskan sebagai nelayan di danau Limboto. Menjadi nelayan danau ia pilih sejak ia masih muda. Pekerjaan ini ia lanjutkan dari kakek dan ayahnya dulu.
“Masih muda saya memang sudah mencari ikan di sini. Karena pencaharian saya memang di danau, sudah dari turun-temurun,” ungkapnya sembari memperbaiki perahu dan alat penangkapan yang akan ia bawa. Kamis, (28/8/2019).
Ramin punya kebiasaan turun memancing pada sore hari dan kembali pada esok pagi. “Saya berangkat jam 4 sore dan balik jam 6 pagi.”
Ia tak pernah pergi mencari ikan di pagi hari, lalu balik pada sore hari atau malam hari. Karena, pada pagi hari banyak pembeli ikan danau yang sudah menunggu di area danau.
“Rata-rata nelayan di sini turunnya sore dan pulang pasti pagi. Karena ingin mengejar para pembeli ikan,” katanya.
Hasil tangkapan yang ia dapatkan tak serta merta ia jual kepada pembeli, tapi harus dibagi juga untuk lauk bagi keluarganya yang tengah menunggu hasil tangkapan Ramin. Namun, menurut Ramin tangkapan ikan di danau sudah tak sebanyak kemarin. Hasil tangkapannya mulai tidak stabil setelah kekeringan yang melanda danau saat kemarau tiba.
“Pendapatan kami sebagai nelayan danau menurun, sejak air danau ini surut. Biasanya sehari bisa Rp 100.000 bisa juga tidak. Pokoknya tidak menentu, tidak sama seperti gaji PNS,” ujarnya dengan raut keluh kesah dengan balutan kulit yang mulai keriput.
Ramin menjelaskan, bukan hanya kali ini danau mengalami kekeringan. Pada tahun 2017 kemarin, seingatnya pernah surut, ia juga mengatakan air surut lebih jauh lagi dari tempat perahunya bertambat ini.
“Yah, kalo (kalau) air surut dan kering, ikan-ikan juga sulit di dapat. Kalau dulu ikan manggabai, ikan dumbaya (ikan betok), ikan seribu, dan ikan gabus mudah di dapat. Tapi sekarang ini cuma (cuman) ikan manggabai dan ikan mujair yang berhasil ditangkap,” kata Ramin warga desa Hutadaa, kecamatan Tilango, sambil mulai mendorong perahunya menjauh ke tengah danau.
Keresahan atas mengeringnya danau limboto ini juga dirasakan oleh beberapa kawan Ramin yang juga bekerja sebagai nelayan danau, menurut Ramin mereka memilih mencari pekerjaan lain seperti: menjadi buruh dan abang bentor. Karena penghasilan yang di dapat dari hasil tangkapan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
“Saya kalau ikut seperti mereka, saya bisa kerja apa. Pekerjaan saya dari masa muda sampe (sampai) sekarang adalah nelayan. Tapi saya percaya danau Limboto ini tidak akan mati. Saya percaya itu,” ujar Ramin dengan senyum gembira dan penuh keyakinan.
Menurut Ramin kekeringan sebagian danau ini mulai ia rasakan semenjak bulan puasa kemarin atau pada bulan Mei lalu. Dan terus mengalami kemorosotan sampai saat ini. “Dari bulan puasa ini air danau kering, tapi kalau musim hujan tiba air danau bisa naik sampai batas jalan sana.”
Tak hanya Ramin, Cerita keresahan tentang keringnya danau dan menurunnya pendapatan hasil tangkapan turut juga dirasakan oleh Kadus.
Berselang beberapa saat Ramin pergi bersama perahunya, Kadus Nelayan danau itu tengah bersiap mengeluarkan perahunya dari seutas tali yang terikat di salah satu kayu sebagai penyanggah perahunya.
Kadus menuturkan kalau peristiwa keringnya danau ini ia rasakan pada penghujung bulan ramadan. “Kalo (kalau) tidak salah dekat-dekat lebaran air di sini mulai kering.”
“Bahkan sampai di tengah itu (jaraknya 10 meter dari tempat Kadus berdiri) tinggi air hanya satu meter,” jelas Kadus yang perlahan-lahan berjalan sambil mendorong perahunya ke tengah danau, dengan kaki-kakinya yang sesekali masuk ke dalam endapan lumpur danau setinggi satu meter.
Kadus juga membenarkan, kalau pada kondisi kering seperti ini ikan yang berhasil di dapat hanya beberapa saja. Ikan dumbaya atau ikan betok, dan ikan seribu sangat sulit di dapatkan.
“Di sini kalau kering cuma (cuman) ikan manggabai dan mujair saja yang bisa nelayan tangkap,” katanya sambil teriak karena terburu-buru dan posisinya yang mulai agak jauh dari tepian, tempat di mana perahunya ia tambatkan.
Selain Ramin dan Kadus nelayan yang menggantungkan hidupnya dari danau Limboto, Yanto dan Kude juga saat ini mulai menaruh harapan yang besar dari keringnya danau tersebut. Yanto dan Kude adalah dua orang yang mencari nafkah dari galian tambang pasir dari sisa-sisa lubang di danau Limboto.
“Saya bekerja di sini setelah lebaran kemarin. Biasanya saya juga bekerja menjadi pengangkut pasir di sungai, tapi sekarang di danau Limboto,” ujar Yanto ketika diwawancarai saat mulai mengangkat pasir yang telah tertumpuk ke truk yang telah siap mengangkut.
Menurut Yanto penambang pasir di danau ini setahu dia ada semenjak selesai lebaran kemarin. Dan biasanya pasir yang telah disedot pakai alat langsung diangkut oleh truk-truk yang telah siap, dan di antarkan kepada setiap pemesan.
“Setiap truk pasir di hargai sebesar Rp 300.000 dan dan gaji yang di dapat untuk setiap tukang sedot sebesar Rp 70.000 dan pengangkut di bayar sebesar Rp 80.000,” katanya.
Ia juga menambahkan, bahwa menambang pasir di sini punya keuntungan tersendiri. Mereka juga tak khawatir kalau kena protes akibat kualitas pasir yang mereka jual tidak bagus kepada setiap pemesan.
“Pasir dari danau ini sama seperti pasir yang sebelumnya saya sering angkut, pasir dari sungai. Kualitasnya sama. Terkecuali kalau pasir dari laut itu bisa beda.”
Selain kualitas pasir yang dianggap Yanto sama kualitasnya dengan pasir sungai. Ia pun mengatakan bahwa penambangan pasir di sini disedot dari lubang-lubang yang telah ada bukan lubang yang dibuat secara sengaja.
“Lubang-lubang itu yang kami ambil pasirnya, memang sudah ada. Tidak ada lubang baru yang torang (kami) buat dengan sengaja,” imbuhnya sambil bertatap-tatapan dengan Kude, sambil menanyakan kalau truk sudah terisi dengan penuh.
Penulis: Zulkifli Mangkau