60DTK – Gorontalo: Accerodon Selebensis atau yang dikenal dengan Kalong Putih merupakan hewan endemik Sulawesi. Kalong Putih sendiri merupakan hewan pemakan buah yang saat ini mulai terancam keberadaannya. Keterancaman ini akibat mulai jarang ditemui di habitatnya, akibat perburuan dan permintaan terhadap kalong tersebut untuk dijual ke berbagai daerah.
Seorang peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo, Safriyanto Dako, mengakui perburuan yang secara bebas dan akibat permintaan yang tinggi dari luar daerah menyebabkan Kalong Putih endemik Sulawesi itu mulai terancam keberadaannya bahkan terancam punah.
Dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi Konservasi Kelelawar Berkelanjutan di Desa Olibu, Boalemo, Provinsi Gorontalo” menunjukan perburuan terhadap Kalong Putih atau dengan nama latin Accerodon Selebensis masih sangat tinggi di kawasan manngrove tempat tinggalnya yang telah menjadi habitatnya.
“Jika perburuan kelelawar masih tinggi serta menggunakan senjata api, jerat kali, dan layang-layang maka satwa tersebut akan bermigrasi dan akan kembali lagi pada habibatnya dengan menunggu waktu selama 6 bulan bahkan 1 tahun lamanya,” kata Safriyanto dalam penelitiannya.
Penelitian Safriyanto juga menjelaskan, satwa kelelawar sangat rentan dan bergantung pada daya dukung lingkungan. Kerentanan ini disebabkan sifat dan produktivitasnya yang rendah, lamanya waktu asuh, dan perkembangan yang lamban.
Saat ditemui reporter 60dtk.com pada tanggal (6/9/2019) Safriyanto menuturkan, perburuan yang tinggi disebabkan oleh permintaan yang tinggi juga terhadap kalong putih tersebut. Apalagi dengan harga jual yang sangat tinggi membuat warga memburu kalong secara habis-habisan.
“Dampak paling besar atas kepunahan kalong putih itu warga melakukan perburuan dengan menggunakan senjata api, ini malah memparah habitat dari tempat tinggalnya. Apalagi kami mendapati harga jual kelelawar di kisaran harga Rp30.000-Rp60.000, tergantung ukurannya juga. Semakin besar kelelawar yang didapat semakin mahal juga harganya, bahkan kami pernah mendapatkan ada bobot kelelawar sampai 1 kg pasti harganya pasti mahal,” ujar Safriyanto saat diwawancarai, Senin (6/9/2010).
Kata Safriyanto, populasi kelelawar atau kalong putih di Gorontalo tidak bisa dihitung secara pasti. Sampai saat ini hanya diperkirakan populasinya di bawah 10.000 ekor saja.
“Bahkan dalam penghitungan dengan menggunakan metode selama 6 bulan, diperkirakan sekitar 3.000 – 4.000 kelelawar yang berhasilng ditangkap dan keluar dari habibatnya,” tuturnya.
Melihat perburuan warga dengan secara masif dan tak ada aturan yang secara ketat menjaga populasi dan ruang hidup dari satwa kelelawar tersebut, Safriyanto kemudian membikin pembinaan dan kesepakatan dasar konservasi di tempat penelitiannya di Desa Olibu, Boalemo.
“Menghasilkan empat kesepakatan dasar dalam wilayah konservasi, yaitu: melarang penebangan hutan bakau tanpa seizin pemerintah desa Olibu, penangkapan menggunakan senjata api, frekuensi penangkapan kelelawar dua kali seminggu, dan kelelawar yang ditangkap harus disortir; jika terdapat kelelawar yang masih kecil, bunting, dan kelelawar indukan yang masih mengasuh anaknya harus dilepaskan,” bunyi kesepakatan yang tertuang dalam penelitian Safriyanto Dako.
Penulis: Zulkifli M.