60DTK-Nasional: Hingga kini, kengerian rusuh Wamena, Papua, masih terus membayangi benak Errisa Dwi Siswandani. Dosen di STISIP Al Yapis Wamena itu bahkan kini memilih untuk sejenak menepi dan menenangkan diri di kota asal orang tuanya, di Ponorogo, Jawa Timur.
Ketika diwawancarai tim VOA Indonesia, Ia menangis sambil bercerita tentang kekecewaannya yang muncul akibat kerusuhan itu.
Baca juga: Polemik Papua Dan Surabaya, Begini Tanggapan Ridwan Yasin
“Kenapa kok begini? Saya ke sini itu mengajar. Dengan tulus hati memberikan ilmu. Saya kalau disuruh membayangkan lagi, jadi menangis. Saya besar di sana. Ada hati yang mau turut serta membangun SDM di sana. Mau memberikan ilmu. Tetapi ternyata, saya tersakiti. Saya belum sempat merasakan dan melihat mereka berubah seperti yang dicita – citakan,” ujar Erissa.
Di mata Errisa, Papua, khususnya Wamena, bukanlah tanah asing. Dia lahir dan tumbuh di sana hingga usia 14 tahun. Ibunya seorang guru dan ayahnya bekerja di pemerintah daerah setempat. Pada Oktober tahun 2000, keluarga itu terpaksa meninggalkan Wamena, karena kerusuhan terkait pengibaran Bendera Bintang Kejora. Namun setelah menyelesaikan kuliah di Jawa Timur, Errisa kembali ke Papua pada 2014. Baginya, itu adalah panggilan hati.
Baca juga: FRI-WP Kota Gorontalo Gelar Aksi Dukungan Terhadap Free West Papua
“Karena saya lahir dan besar di sana, ada rasa ingin ke sana. Ingin mengabdi. Bagi sebagian orang, seperti saya, kembali ke Papua bukan karena sekadar mencari rezeki. Papua ada di hati saya, dan ada keinginan besar untuk ikut membangun tanah Papua,” tuturnya lagi masih dengan wajah sendu.
Namun sayangnya, lima tahun berbakti sebagai dosen di STISIP Al Yapis Wamena, kerusuhan besar datang melanda. Dia sedang mengajar di kelas, ketika kota mulai terbakar pada 23 September 2019 siang. Mahasiswa berlarian ke luar kampus, sementara para perusuh masuk dan membakar kendaraan serta bangunan. Errisa menyelamatkan diri ke belakang kampus, masuk ke sebuah honai milik warga. Beberapa jam kemudian, tentara menemukan Errisa, membawanya ke markas Kodim Wamena. Sehari setelah itu, Errisa mencari tiket untuk pulang ke Ponorogo, sampai hari ini.
Baca juga: Mahasiswa Papua Di UNG: Kami Baik – Baik Saja, Saling Hormat Dan Menghargai
Dua kali dalam hidupnya, Erissa terpaksa meninggalkan Wamena akibat kerusuhan, pada tahun 2000 dan 2019. Pada September lalu, dia bahkan tidak sempat menyelamatkan sedikitpun harta bendanya, karena harus pergi saat mengajar di kampus.
“Kalau ditanya apakah saya mau kembali ke Wamena atau tidak, sekarang ini jawabannya tidak. Selanjutnya ke depan saya tidak tahu seperti apa. Saya trauma. Saya kan mengajar di sana. Saya berhadapan dengan mahasiswa. Untuk membayangkan saya berhadapan dengan mahasiswa saja, sekarang saya ketakutan,” tuturnya dengan suara tercekat. (rls)
Sumber: VOA Indonesia