Mengais Berkah di Balaroa

Udin Sedang Asyik Melilitkan Besi yang berhasil ia Dapatkan dari sisa reruntuhan di Perumnas Balaroa. Peruman Balaroa, merupakah salah satu kawasan yang terparah di Palu saat terjadi bencana Tsunami, Gempa Bumi dan Likuifaksi(26/10). Foto : Zulkifli Mangkau/60dtk.com

60DTK – Lipsus: Nampak dari kejauhan jalan menuju perumnas balaroa rusak dan berlubang, akibat guncangan yang terjadi pada 28 September 2018 kemarin.

Hari itu, Jumat 26 Oktober saya mengunjungi perumnas balaroa, setelah menyelesaikan beberapa kerjaan di Palu Utara Tawaeli dan sekitarnya. Balaroa Sendiri menarik perhatian saya lebih dalam untuk bisa melihatnya, dari kejauhan saya sudah di suguhi ratusan rumah yang hancur dan sisa reruntuhan yang berada diatasnya.

Bacaan Lainnya

Semua rata, tak ada yang tersisa. Balaroa hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga yang di tinggalkan oleh mereka yang mati tertimbun akibat dari Likuefaksi (pembuburan Tanah) yang menerpa balaroa.

Nampak Perumnas Balaroa, setelah bencana Likuefaksi menerjang. dan beberapa alat berat telah membersihkan dan mulai memperbaiki kembali Balaroa. Foto : Zulkifli Mangkau/60dtk.com

Tepat pada hari itu pun, tanggal 26 Oktober 2018 menandakan aktivitas Tanggap Gawat Bencana di Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) yang telah di jadwalkan pemerintah, akhirnya resmi di cabut. Tapi hampir sebagian korban bencana belum ditemukan di beberapa titik bencana lainnya yang menimpa Pasigala.

Berkah di Balaroa

Udin (46) dari kejauhan sedang asyik mengumpulkan besi dari sisa reruntuhan di balaroa. Pekerjan Udin sehari-hari adalah Loakan Besi, ia bukan warga Balaroa, melainkan warga Tinggede. Sebelum menuju balaroa, sepanjang pesisir Mamboro dan Pantai Talise adalah daerah yang selalu di kunjungi untuk mencari besi.

“sebelum di balaroa ini, saya mencari besi di Pante Talise, dan Mamboro, karena disana banyak besinya” Ujar udin kepada saya

Disini, banyak sekali rumah dulu. Ramai, sesekali saya mencari besi disini. Tapi saat bencana datang semua hancur rata dengan tanah, Tak bisa di bayangkan. Ia Menimpali di saat obrolan saya dengannya terjadi.

Potongan-potongan besi yang dikumpulkan Udin, ia satukan agar lebih mudah untuk ditimbang. Foto : Zulkifli Mangkau/60dtk.com

Pilihan Udin mencari besi di balaroa, merupakan inisiatif dari sesama Loakan, mereka bersamaan memilih balaroa.

“bukan hanya saya, banyak sesama loakan yang mencari besi disini, kami bersepakat untuk kemari. Karena di beberapa tempat, besi dan sejenisnya di pungut oleh mobil kebersihan pemerintah dan di buang di tempat pembuangan sampah” Keluhnya kepada saya

Keputusan mencari besi di balaroa pun, sebelumnya mendapat hambatan dari beberapa aparat, karena masih bersifat tanggap gawat bencana dan tim evakuasi masih sementara bergiat mencari korban yang masih hilang.

Setelah tanggap gawat bencana di cabut, udin dan rekan-rekannya langsung ke balaroa.

“pekerjaan Loakan sekarang mulai di gemari, pasca bencana di Palu. Banyak orang sekarang berebutan mencari, tapi diantaranya mereka memakai mobil dan bisa dalam skala besar mendapatkan besi. Sedangkan kami hanya mengandalkan motor dan gerobak saja” ujarnya sambil melilitkan besi yang ia dapatkan.

Saya pun melontarkan pertanyaan kepada Udin, Bagaimana dengan harga jual besi ? setelah pasca gempa.

“harganya pun, syukur lebih bagus dari kemarin. Sekarang sudah dua ribu perkilonya, kemarin seribu perkilo.” Jawabanya dengan semangat

Setelah berbincang beberapa menit dengan Udin, saya berjalan mengunjungi para loakan lainnya yang sedang bergumul di satu gerobak.

“Dapat banyak hari ini om” Tanya saya.

“Lumayan lah, semenjak bencana datang. Kami para loakan diuntugkan.” Jawab mereka.

Balaroa menjadi tempat mengais rejeki bagi para loakan, setelah bencana datang ada sejumlah harapan dan berkah yang menghampiri para loakan.

Setelah sebelumnya keuntungan mereka hanya bisa dihitung jari saja, kini berkah yang mereka rasakan. dengan sejumlah besi yang mereka dapatkan dimana saja, terutama di Balaroa.

Saya akhirnya kembali, karena langit sudah bermega mendung, menandakan hujan akan segera tiba. Tapi di penghujung jalan, tepat saya memarkir motor, berjumpa dengan Udin lagi.

“mo kamana komiyu (mau kemana kamu)” tanyanya dengan logat keseharian mereka di Palu.

“somo bale (mau Balik) dulu kami, umur panjang bisa bertemu). Jawab saya kembali.

Iye, jangan bosan-bosan ke Palu. Siapa tahu balik kesini jadi bos loakan besi kami disini. Sendu guraunya dari kejauhan ketika saya mulai meninggali perumnas Balaroa.

Reporter Zulkifli Mangkau

Pos terkait

Tinggalkan Balasan