Menyoal Tentang Tradisi Tumbilotohe, Ini Tanggapan Milenial Gorontalo

Salah satu gelaran tumbilotohe di Kabupaten Gorontalo. (Foto - Spotnews.id)

60DTK – Gorontalo: Ramadan tanpa Tumbilotohe di masyarakat Gorontalo rasanya tidak sempurna. Antara Ramadan, Tumbilotohe dan Hari Raya Idul Fitri sudah merupakan paket komplit yang selalu dilaksanakan di bulan Ramadan. Tumbilotohe merupakan tradisi turun temurun yang selalu dirayakan masyarakat Gorontalo dan tidak ada di daerah lain.

Peringatan Tumbilotohe biasanya dilaksanakan pada tiga hati terakhir di bulan ramadan. Seiring berjalannya waktu, tradisi Tumbilotohe juga sudah mengalami perubahan. Tradisi yang awalnya hanya menggunakan lampu botol, saat ini sudah dibuat lebih meriah dengan hadirnya lampu modern yang berwarna.

Bacaan Lainnya

Tak hanya sampai di situ, saat ini beberapa daerah di Provinsi Gorontalo, sengaja merayakan Tumbilotohe secara meriah dengan menggelar lomba-lomba untuk memeriahkan tradisi tersebut. Selain untuk memeriahkan, tujuannya agar daerah tersebut menjadi pusat perhatian yang akan banyak dikunjungi masyarakat  Gorontalo.

Baca Juga: Tumbilotohe Atau Tumblr-Tohe ?

Beberapa tempat sengaja dihiasi sedemikian rupa dengan lampu agar menjadi salah satu spot yang menarik untuk anak milenial mengabadikan momen bersama orang-orang tertentu. Tak sedikit juga masyakat Gorontalo yang rela menembus macet untuk sekadar mengabadikan momen Tumbilotohe tersebut.

Cara orang mengkreasikan Tumbilotohe bermacam-macam. Ada yang membentuknya menjadi sebuah tulisan, gambar, atau menyerupai sebuah terowongan yang dihiasi lampu warna-warni. Tentunya hal tersebut tidak menghabiskan budget yang sedikit. Tidak hanya Budget, butuh waktu yang cukup lama serta tenaga yang cukup banyak untuk mempersiapkan agar Tumbilotohe ini menjadi meriah dan menarik minat banyak orang.

Kata Tumbilotohe memang diambil dari bahasa Gorontalo. Tumbilo yang berarti memasang atau menyalakan, Tohe yakni merupakan bahasa Gorontalo dari Lampu. Zaman dulu Tumbilotohe atau Tohetutu merupakan upaya masyarakat untuk menerangi jalan yang akan dilalui orang-orang yang ingin salat tarwih di masjid dan membayarkan zakat fitrah.

“Tumbilotohe itu merupakan Adat. Waktu itu, orang-orang dulu membayar Zakat Fitra nanti pada akhir-akhir Ramadan. Saat itu bulan sudah mulai gelap. Dan tempat membayar Zakat Fitra itu di masjid bukan di rumah-rumah. Sehingga orang-orang tua dulu berusaha memasang lampu di depan masjid agar Masjid jadi terang dan masyarakat bisa membayar Zakat Fitra.” jelas Daud Yadjitala pemangku adat di Tilamuta Kabupaten Boalemo.

Daud menambahkan, pemasangan Tumbilotohe juga berkaitan dengan malam Lailatul Qadar, yang turun di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan. Malaikat yang turun dari langit ke bumi di pimpin oleh malaikat Jibril, di Gorontalo disambut dengan penerangan atau Tumbilotohe ini.

“Turunnya malaikat dari langit, di pimpin oleh malaikat Jibril disambut dengan penerangan. Sedang kita manusia, dulu sebelum ada lampu atau listrik, jika ada kunjungan dari pusat, dari provinsi ke daerah disambut dengan pasang lampu. untuk menyambut orang-orang penting, apalagi ini malaikat yang turun,” terang Daud dengan dialeg Gorontalo yang khas.

Sementara itu, Tumbilotohe tak akan lengkap rasanya jika tidak di temani oleh Alikusu, pemasangan Alikusu merupakan penggambaran dari simbol keislaman. Sebagian besar Alikusu dibuat seperti halnya Ka’bah Masjid.

“Arkus itu menggambar Ka’bah Masjid. Itu merupakan simbol-simbol Islam,” pungkas Daud

Seiring perkembangan zaman, perayaan Tumbilotohe sudah dikreasikan dengan lampu-lampu listrik atau tumblr. Salah satu alasan penggunaan lampu listrik atau tumblr, karena lebih banyak warnanya lebih bervariasi, mudah dibentuk.

Di mata kaum milinial sendiri, peralihan perayaan tumbilotohe dari lampu botol ke lampu tumblr mendapat respon yang berbeda-beda. Ada yang sepakat dengan penggunaan lampu botol dengan alasan budaya ada juga yang tidak sepakat dengan alasan tumblr atau lampu listrik karena alasan lebih ramah lingkungan.

Berikut penuturan anak milenial mengenai peralihan tumbilotohe dari lampu botol ke lampu hias atau tumblr.

Menurut Fadila Beu, dia lebih sepakat perayaan Tumbilotohe menggunakan lampu botol. Menurutnya, perayaan tumbilotohe sejak zaman dahulu merupakan malam pasang lampu yang menggunakan lampu botol bukan lampu listrik.

“Itu kan memang budaya tumbilotohe atau malam pasang lampu menggunakan lampu botol. Budaya tersebut sudah dari sana-nya menggunakan lampu botol bukan diganti-ganti dengan lampu hias atau listrik,” ungkap Fadila ketika di kontak crew 60dtk.com via whatsapp

Alasan yang sama juga diungkapkan oleh Fadil. Menurutnya, meskipun penggunaan tumblr lebih efektif dan praktis, tradisi yang sudah ada dari zaman dulu tetap harus di jaga.

Senada dengan pernyataan di atas, Rachmat Hidayat Ntou juga sepakat memilih lampu botol yang memang harus dipakai saat malam pasang lampu tiba. Menurutnya, dia lebih suka melihat nuansa Gorontalo tempo dulu, tapi, untuk penggunaan minyak tanah harus lebih terkontrol. Jika menggunakan lampu tumblr, itu sudah tidak mencerminkan ciri khas Gorontalo-nya karena dari dulu yang dikenal lampu botol dan Alikusu.

Sementara itu, banyak juga yang setuju dengan perayaan Tumbilotohe menggunakan lampu listrik. Didit Wirfahyadi misalnya, dia lebih setuju dengan penggunaan lampu listrik, karena menurutnya lebih mudah, murah, selain itu bisa lebih banyak kreasi yang dapat tercipta dari lampu listrik.

Hal serupa juga di ungkapkan Putri Rizki Amalia. menurut Putri, zaman sekarang lebih bagus menggunakan lampu hias, karena selain mudah diatur, saat ini kaum milenial lebih tertarik untuk mengambil momen atau foto di tempat yang menggunakan lampu listrik.

“Lebih mending pilih lampu listrik, karena selain mengurangi pemakaian minyak, lampu listrik juga lebih efisien dan bisa di sesuaikan dengan kreatifitas design. Sekarang juga kita (dialog Gorontalo yang artinya saya) liat, kian tahun orang-orang kebanyakan memilih spot-spot foto yang ada lampu-lampu listriknya tidak lagi memilih lampu botol malah,” tukas Putri.

Reporter: Leo Pateda

Penulis: Leo Pateda

Editor: Zulkifli.

Pos terkait