60DTK, Enrekang – Siapa yang tidak kenal Gunung Latimojong? Di kalangan pendaki, gunung ini cukup tersohor karena masuk sebagai salah satu dari Seven Summits of Indonesia mewakili Pulau Sulawesi. Tak ayal, Latimojong pun disebut-sebut sebagai Atap Sulawesi.
Namun, jangan salah. Tidak hanya dua hal itu yang membuat gunung ini banyak digandrungi. Lebih daripada itu, Latimojong juga memang memiliki jalur menantang sekaligus cantik sekali dari awal memasuki pintu rimba, hingga puncaknya.
Ada dua jalur paling familiar dalam pendakian Gunung Latimojong. Pertama, jalur Karangan yang melewati Dusun Karangan, kedua, jalur Angin-Angin lewat Dusun Angin-Angin. Jika dibandingkan, kedua jalur ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika mau lewat Jalur Karangan, durasinya lebih cepat, tetapi harus siap-siap menghadapi trek ekstrem yang sangat miring. Jika mau lebih santai, Jalur Angin-Angin bisa menjadi pilihan, tetapi harus siap berlama-lama di gunung karena jalurnya lebih panjang daripada Karangan.
Kali ini, kita akan bahas seperti apa trek pendakian Gunung Latimojong lewat Jalur Karangan.
Dari kaki gunung, tepatnya dari Dusun Karangan menuju pos 1, kita akan langsung disuguhi dengan sungai mengalir di sebelah kiri sepanjang jalan. Jalurnya pun terhitung cukup landai jadi tidak terlampau menguras tenaga. Hanya ada beberapa tanjakan sepanjang perjalanan menuju pos 1, tapi tidak terlalu berasa karena setelah itu akan “dibayar” lagi dengan jalur landai berikutnya.
Hanya saja, karena landai itu pula jalur ini akan terasa sangat panjang seperti tidak ada habisnya. Untuk sampai ke pos 1 ini saja, waktu kita bisa termakan 1 sampai 2 jam. Tapi saat tiba di pos 1, ada shelter cantik yang sangat memungkinkan untuk bersantai. Pos 1 ini bernama: Buntu Kacilin.
Jalur dari pos 1 ke pos 2, masih mirip-mirip dengan jalur sebelumnya, tapi kini kita tidak lagi berjalan tepat di samping aliran sungai. Dan meski konturnya rada mirip-mirip, rasanya jalur pos 1 ke pos 2 ini lebih banyak tanjakan ketimbang landai. Baru sekitar 30 menit jalan, kita akan menemukan jalur turun yang teramat panjang sampai kita mungkin akan bertanya-tanya, kenapa kita harus turun padahal nanti bakal naik lagi? Namun, jangan salah. Jalur menurun yang amat panjang itu akan membawa kita pada pos 2: Sarumpa’pak yang amat cantik dengan sungai mengalir tepat di bawah jembatan yang kokoh.
Di pos 2 ini, suara kita akan tertutupi suara aliran sungai deras yang menenangkan. Jika ke Latimojong, rasanya kurang lengkap kalau tidak sampai menginap semalam di pos 2. Apalagi di pos ini ada tempat camp yang meski kecil, tapi keren sekali karena berada tepat di bawah batu besar. Kita akan merasa bagai sedang berada di dalam goa jika mendirikan tenda di situ.
Berangkat dari pos 2 ke pos 3, jalurnya singkat tapi gila haha. Jalur turun yang amat panjang sebelum pos 2 tadi ternyata bukan tanpa bayaran. Baru lepas dari pos 2, jalur menukik tajam dan licin langsung akan ditemui. Syukur kalau jalur seperti itu hanya singkat. Sayang sekali, sepanjang perjalanan dari pos 2 menuju pos 3, trek seperti itulah yang mendominasi. Beruntung, webing bertebaran di mana-mana, jadi tidak perlu takut tidak punya pegangan.
Sebelum memasuki pos 3, jalur akan berganti didominasi dengan akar menjuntai dan malang-melintang. Ini sekaligus menjadi tanda pos 3 kian dekat. Akar-akar besar terakhir yang akan ditemukan akan membawa para pendaki ke tikungan tajam ke kanan lalu kiri. Tak lama setelah itu, pos 3 akan terpampang di depan mata. Pos dengan nama: To’ Nase.
Pos 3 ini lebih kalem, kalau tidak bisa dibilang tanpa apa-apa. Berbeda 180 derajat dari pos 2 yang cantik, pos 3 hanya berupa tanah lapang dengan batu besar tepat di samping plang yang bertuliskan pos 3. Selebihnya tidak ada apa-apa selain tanah lapang saja.
Perjalanan dari pos 3 ke pos 4 lebih santai ketimbang pos 2 ke pos 3 sebelumnya. Menanjak, tapi tidak menukik, licin tapi tidak selicin bebatuan dari pos 2 ke pos 3, karena kini trek lebih didominasi akar dan tanah becek saja. Menuju pos 4 dari pos 3 ini memakan waktu sekitar 1 sampai 2 jam, tergantung kecepatan langkah pendaki.
Jika pos 3 sebelumnya adalah tanah lapang, pos 4 dengan nama Peuwean ini lebih banyak tanah yang berundak. Karena itu pula, pos 4 ini tidak banyak dipilih untuk tempat camp, selain jika dalam keadaan darurat.
Durasi dari pos 4 ke pos 5 kurang lebih sama juga, hanya 1 sampai 2 jam, lagi-lagi tergantung seberapa cepat langkah pendaki. Treknya pun tidak banyak berubah, tetap didominasi akar dan tanah becek, meski jalurnya lebih panjang dan meliuk. Meski begitu, biasanya pendaki akan mulai lega jika sudah dalam perjalanan menuju pos 5, karena pos inilah tempat camp yang paling direkomendasikan jika mendaki Gunung Latimojong.
Bagaimana tidak? Tiba di pos 5: Solohtama, para pendaki akan langsung disuguhi tanah lapang yang luas sekali diselingi pohon-pohon tinggi menjulang yang membuat suasana terasa adem sekali. Di sekeliling pohon-pohon itu terdapat petak-petak tanah yang pas sekali untuk mendirikan tenda. Di sinilah kebanyakan para pendaki Latimojong memilih menghabiskan malam dan beristirahat untuk bersiap menuju puncak. Karena selain tempatnya yang memang cocok untuk camp, pos 5 juga memiliki sumber air yang melimpah, hanya kurang lebih 100 meter dari tempat camp.
Namun, tidak semua pendaki memilih begitu. Ada juga yang tetap melanjutkan perjalanan sampai pos 7 dan lebih memilih untuk membangun tenda di sana.
Menyusuri jalur Latimojong dari pos 5 menuju pos 7, suguhannya semakin cantik. Di sini mulai bisa ditemukan flora yang beragam, mulai dari jamur beragam rupa, sampai anggrek hutan yang cantik. Banyak pula flora lainnya yang terlihat seperti tumbuhan-tumbuhan yang hidup di negeri dongeng, entah apa namanya. Yang membuat jalur ini semakin magis adalah pohon-pohon yang diselimuti lumut hingga membentuk hutan lumut yang terasa tidak nyata. Cantik sekali.
Maka, meski trek dari pos 5 ke pos 7 ini menukik tajam dan beberapa titik dapat ditemukan batu besar licin yang harus ekstrahati-hati untuk melangkah, serta jalur yang terasa amat panjang karena meliuk-liuk seakan tidak sampai-sampai, itu tetap sepadan dengan pemandangan jalur yang disuguhkan. Indah dan magis.
Perjalanan dari pos 5 ke pos 7 adalah perjalanan panjang yang seakan tiada habisnya, tapi sekaligus menjadi perjalanan penghabisan sebelum puncak. Karena pos 7 adalah pos terakhir yang merupakan tempat camp favorit kedua setelah pos 5, maka pos 7 hampir selalu jadi target utama setelah keberangkatan dari pos 5. Lagipula, pos 6 hanya berupa tanah lapang yang tidak terlalu besar, dan tanahnya pun agak meliuk alias tidak datar. Tidak direkomendasikan untuk membangun tenda di situ.
Meski begitu, setelah pos 7, ada juga yang namanya telaga yang sering dijadikan tempat camp. Yaaa, meski sebenarnya camp di area telaga agak berisiko. Area telaga adalah area yang terbuka luas tanpa banyak pepohonan. Mendirikan tenda di situ berarti harus siap diterjang angin semalaman penuh, risiko terkena hipotermia pun jadi semakin tinggi.
Namun, ada nilai plus kalau camp di telaga: summit jadi lebih dekat. Jika berangkat summit dari pos 7 bisa memakan waktu sampai 1 jam setengah, maka berangkat summit dari telaga hanya membutuhkan waktu 45 menit kurang lebih. Selain itu, sumber air di telaga juga dekat sekali dan terpampang jelas, beda dengan sumber air di pos 7 yang masih harus melipir sekitar 50 meter kurang lebih. Begitulah, ada plus minus di tiap pos pendakian Gunung Latimojong ini.
Lalu, bagaimana jalur pendakian ke puncak?
Jalur ke puncak lebih cantik lagi. Bisa dibilang, semakin ke atas, jalur pendakian Gunung Latimojong semakin cantik berkali lipat. Terbuka, cantigi berjejer manis di kiri kanan jalur, dan paling penting, jalurnya landai, sama sekali tidak ada yang menukik tajam. Namun, jalur landai itu sekaligus jadi tantangan terbesar. Kesabaran harus dilipatgandakan, karena banyak “puncak palsu” yang kerap bermunculan sebelum Puncak Rante Mario.
Bagaimana tidak? Karena landai dan naik turun, otomatis pendaki akan melewati banyak turunan, jalur landai, lalu naik lagi seakan sudah menuju puncak, padahal setelah itu akan kembali dihadapkan dengan jalur yang sama: turun, landai, naik, berulang-ulang kali. Pendaki yang punya kesabaran setipis tisu rasanya tidak akan bertahan di sini, haha.
Namun, sekali menjejakkan di Puncak Rante Mario Gunung Latimojong, letih, resah, dan frustasi sepanjang jalan akan langsung terbayar kontan. Pemandangan dari Puncak Rante Mario tidak ada duanya. Indah sekali, magis luar biasa.
Nah, ada yang mau coba mendaki Latimojong?