60DTK – GORONTALO : Aroma busuk begitu menyengat, ketika kami memasuki gerbangTempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di Desa Talumelito Kec. Telaga Biru. Padahal jarak antara pintu gerbang dengan tumpukan sampah itu, masih sekitar 50 meter.
Dari pintu gerbang itu, sudah terlihat tumpukan sampah yang menggunung. Beberapa pemulung yang sedang asyik mengais sampah juga terlibat diantara tumpukan sampah tersebut. Kami pun yang hendak menghampiri lokasi TPA, hampir tak tahan dengan bau busuk yang tercium.
Tumpukan sampah yang begitu mengganggu udara segar saat berada di lokasi TPA, membuat siapa saja yang datang ke tempat ini, hampir tak bisa menahan diri untuk berlama-lama.
Lalar-lalar besar yang menggorogoti setiap sampah yang berserakan, seakan-akan tak kunjung habis. Namun hal tersebut di anggap remeh oleh Diko dan Leni.
Bagi pasangan suami istri itu, tumpukan sampah tersebut adalah ladang pencaharian untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Setiap harinya mereka selalu mengais ngais tumpukan sampah itu, untuk mencari barang – barang yang bisa diuangkan.
Diko dan Leni sudah enam tahun memulung. Mereka tak pernah pindah tempat memulung. Sudah sekitar 6 tahun mereka mencari nafkah sebagai pemulung di tempat itu. Bahkan mereka juga tinggal di sekitar TPA itu.
Gubuk kecil yang berukuran sekitar 2×2 meter yang terletak sekitar 15 meter dari tumpukan sampah, menjadi tempat berlindung mereka dari panasnya matahari dan dinginya malam. Nyamukpun seakan menjadi teman tidur mereka.
“semua orang pasti tau, kalau hidup di tengah-tengah sampah seperti ini apa yang kita rasakan, tapi biarlah kami sudah cukup terbiasa dengan kehidupan seperti ini” terangnya dengan raut muka yang cukup kelelahan
Walaupun bagi sebagian orang, memulung merupakan pekerjaan hina, tetapi bagi mereka, bekerja sebagai pemulung adalah pekerjaan yang paling mulia. Diko pun mengaku, setelah enam tahun lamanya Ia dan istrinya mengais sampah di TPA, tak pernah timbul rasa penyesalan dari dirinya
“Ini sudah jadi pekerjaan saya selama enam tahun, saya rasa ini pekerjaan mulia yang pernah saya dapat. Dari pada saya mengemis atau pun meminta, lebih baik saya jadi pemulung saja,”terangnya sambil mengait sampah
Diko pun mengaku suda cukup bahagia dengan kondisi seperti ini. Apalagi saat ia bekerja selalu di temani oleh sang istri yang menjadi penyemangat bagi dirinya sendiri
“alhamdulilah istri saya tak pernah mengeluh dengan kondisi yang kami alami sekarang. Dia pun tak pernah meminta lebih untuk keperluan dirinya sendiri” ungkap diko dengan wajah tersenyum
Tidak hanya itu, kehidupan serba kekurangan yang dirasakan oleh pasangan ini, tak membuat mereka berdua putus asa untuk selalu bekerja. Walaupun hanya bisa mengumpulkan uang Rp .25.000 perhari, tetapi bagi Diko dan Leni hal itu sudah mereka syukuri.
“Sehari itu biasanya paling tinggi Rp. 25.000 yang kami dapati dari hasing memulung di lokasi TPA. Menurut saya itu sudah cukup di bandingkan tak dapat apa-apa,”
Kesabaran yang di rasakan oleh kedua pasangan ini, membuat mereka semakin kuat menerima segala kondisi yang ada.(mf)