60DTK, Gorontalo – Hari mulai gelap. Sang Surya mulai kembali keharibaan. Lantunan ayat suci Al-Qur’an mulai terdengar bersahut sahutan dari pengeras suara masjid-masjid di Kota Gorontalo.
Di sudut Pasar Sentral Kota Gorontalo terlihat Utun (45) yang Kesehariannya mengotak-atik benang, jarum dan tumpukan sepatu bekas, sedang gelisah. Pesanan istrinya sejak pagi tadi, untuk membeli beras belum juga ia lakukan. Itu dikarenakan hari ini belum ada pelanggan.
Tiba-tiba, terdengar suara perempuan yang melayangkan sebuah pertanyaan.
“Pak kalau jahit full berapa pak? tanya perempuan tersebut.
Suara perempuan itu seketika membuat mata Utun mulai berair. Bibirnya sedikit bergetar.
“Kalau jahit full 20 Ribu Bu, kalau cuma muka (depan) deng balakang (belakang) 15 Ribu,” jawab pria paruh baya itu sambil tersenyum bahagia.
Baca Juga: Museum Purbakala Popa Eyato Akan Normal Tahun Depan
Kami pun bertanya, kenapa saat ada pelanggan tadi matanya terlihat berkaca-kaca.
“Itu pelanggan saya yang pertama, sekaligus yang terkahir (hari ini), karna (karena) so mo magrib,” ungkap Utun saat diajak berbincang oleh awak media, Minggu (29/11/2020).
Sudah tujuh bulan lamanya, kondisi ini dialami Utun. Disaat semua orang berteriak ‘kami butuh bantuan, bantuan mana, kami bosan di rumah terus’, Utun justru konsisten dengan pekerjaannya sebagai tukang Jahit Sepatu.
Ia tidak ingin berpangku tangan dengan bantuan pemerintah, meski kenyataan pahit yang harus ia terima. Tak jarang, ia pulang tanpa membawa se persen pun.
Memang, pandemi banyak merubah semua kebiasaan. Jika sehari bisa mendapatkan sepuluh hingga 15 pelanggan. Namun sekarang bersyukur luar biasa bisa mendapat dua pelanggan.
Baca Juga: ‘Desember’ BBM Dan Elpiji 3 Kg Tersedia?
“Saya kerja ba jahit sepatu sudah boleh 10 Tahun. Karena kondisi begini, jalan sempit karena ada renovasi pasar sentral, apalagi kalau Corona, Tidak menentu yang didapat satu hari, syukur satu hari itu 2 pasang sepatu,” ujarnya.
Terlihat Utun memacu kerjanya, Jari jemarinya semakin cekatan, dan rasanya ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Karena perempuan yang menitipkan sepatunya, tak lama lagi akan menjemput barangnya.
“Saya ada baku riki ini pak wa, Napa dia so mo jemput, saya pe istri juga ada ba tunggu, ba titip suruh beli beras,” ucap Utun.
Ditambah hari sudah mulai gelap, ia harus segera pulang. Anak istrinya menunggu beras yang dipesan istrinya.
Asam, garam menjadi tukang jahit telah dilakoninya selama 10 tahun. Tak pernah Utun merasakan kesusahan seperti sekarang ini. Di tengah kesusahan pandemi Covid-19 ini, Utun Mencoba banting setir dengan mencoba pekerjaan lain, namun tidak bertahan lama.
“Sempat berenti kerja jahit sepatu pak, saya pindah kerja bangunan. Kalau berhenti terus cuman di rumah setengah mati, kasihan anak-anak. Saya ada anak dua,” ucapnya sambil mengusap keringat di dahinya.
Pewarta: Hendra Setiawan