60DTK, Opini – “Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk sebagai perempuan.” -Simone de Beauviour
Perempuan dibentuk secara fisik oleh masyarakat sebagai makhluk yang harus dan pandai merawat diri. Tentunya dengan satu tujuan, yaitu ‘HARUS CANTIK’.
Tujuan ini merupakan tujuan yang dibentuk oleh sistem patriarki yang mengonstruksi penampilan fisik sebagai syarat mutlak dalam konstruksi sosialnya. Male gaze menjadi indikator kecantikan perempuan yang hidup dalam sistem masyarakat ini. Kulit putih bersih, hidung mancung, tubuh langsing, dan standar kecantikan lainnya seolah-olah menjadi goal bagi banyak perempuan untuk dapat dipenuhi. Sehingga label cantik seolah-olah menjadi label paling prestisius bagi perempuan.
Baca juga: Black Lives Matter
Standar kecantikan ini kemudian dimanfaatkan oleh para kapitalis yang menjadikan industri kecantikan sebagai salah satu industri potensial untuk mengeruk keuntungan besar dengan menjual citra kecantikan ideal (secara fisik), dengan hadirnya produk-produk kecantikan, pelangsing, pemutih, dan lain-lain. Sehingga, secara sadar ataupun tidak sadar, setiap tindakan atau usaha perempuan untuk memenuhi standar kecantikan adalah salah satu bentuk ketundukan atas male gaze yang berarti kepatuhan terhadap sistem patriarki.
Standar kecantikan ini juga menjadi pola pikir yang terpatri di kepala kita, diamini, dan diterima sebagai sebuah realita, yang menegaskan bahwa penampilan menarik memiliki kasta lebih tinggi dibandingkan hal-hal yang menarik lainnya. Realitas tersebut juga menciptakan sebuah keistimewaan atau privilege terhadap mereka yang memiliki penampilan cantik atau menarik.
Keistimewaan tersebut tentunya terlihat jelas di kehidupan bermasyarakat, seperti dalam ruang lingkup pergaulan dan lingkup pekerjaan. Perempuan-perempuan yang dinilai cantik pada kenyataannya memperoleh kemudahan dalam dunia kerja karena kualifikasi-kualifikasi pekerjaan mengisyaratkan beberapa pasal yang berhubungan dengan standar kecantikan fisik, seperti ‘berpenampilan menarik’ dalam arti memiliki fisik yang menawan; wajah cantik, dan tubuh langsing. Hal ini seolah-olah menjadi tamparan bagi kita, apakah nilai perempuan hanya terletak pada tampilan fisiknya saja, dan mengabaikan kemampuan atau potensi yang mereka miliki?
Baca juga: Meretas Prasangka Seorang Kawan: Sebuah Balasan Untuk Noval Karim
Dalam webinar yang dilaksanakan oleh Gorontalo Youth Assembly, standar kecantikan tidak hanya dibentuk oleh patriarki dan didukung oleh kapitalisme. Sisi arketip atau warisan alam bawah sadar perempuan juga menjadi alasan standar kecantikan dibentuk.
“Ah dandan jadi cantik dan jadi langsing bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri.”
Pernyataan ini adalah pernyataan yang berjalan dengan akal, di luar kesadaran manusia, juga menegaskan tentang perempuan yang merasa tidak memiliki rasa percaya diri jika tidak dandan sebelum bertemu dengan orang di luar inner-cricle–nya. Maka alam bawah sadarnya sudah terkonstruksi standar cantik yang ada, walaupun secara sadar mengklaim, dandan untuk kepuasan sendiri.
Baca juga: Tentang Karakter Mahasiswa Gorontalo: Suatu Perdebatan Yang Keliru
Jika memang benar-benar sadar bahwa dandan itu untuk diri sendiri, mungkin tidak harus dandan ketika ke luar, cukup dengan skincare dan perlindungan kulit saja agar tidak terkontaminasi jahatnya polusi atau hal lainnya. (rds)
Ditulis oleh: Sabrina Jannah
Note: Tulisan ini dibuat sebagai hasil diskusi dengan tema Uncovering Beauty Privilege oleh Gorontalo Youth Assembly, bersama Winarti, S.HUM., M.A.; dan Nurhikmah Biga, M.H.I.