60DTK, Editorial – Siapa yang tidak kenal dengan Gunung Sumbing di Jawa Tengah? Gunung kedua tertinggi di Jawa Tengah ini begitu eksotis dengan hamparan ilalangnya di beberapa sisi, serta pohon-pohon pucuk merah yang menjulang di jalur menuju puncak.
Yaaa, meskipun tidak bisa dimungkiri, jalur Gunung Sumbing memang cukup esktrem. Bagaimana tidak? Gunung api dengan ketinggian 3.371 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini punya trek miring dari awal pendakian hingga puncak. Sedikit sekali “bonus” (jalur landai/rata) yang akan ditemui para pendaki.
Ada tujuh jalur yang dibuka untuk mendaki Gunung Sumbing, ada jalur Garung, Bowongso, Cepit, Lamuk, Banaran, Butuh Kaliangkrik, dan Mangli Kaliangkrik. Jalur paling populer adalah melalui Pos Garung, sebuah desa di kaki bagian utara Gunung Sumbing, di kawasan Kledung Pass.
Baca juga: Covid-19 yang Mengubah Segala Rencana
Namun, beberapa tahun terakhir, jalur via Bowongso juga seringkali menjadi pilihan para pendaki. Katanya, karena jalurnya lebih “waras” ketimbang jalur via Garung yang penuh tanjakan, makian, dan hinaan. Katanya, sih ….
Karena alasan itu, maka pendakian ini dilakukan via Bowongso.

Ada satu terminal yang selalu menjadi tempat pemberhentian para pendaki yang ingin ke Gunung Sumbing, sebelum naik ojek atau pick up menuju basecamp pendakian: Terminal Mendolo.
Jika dari Jakarta, perjalanan bisa dilakukan dengan menggunakan bus antarkota antarprovinsi. Hanya dengan membayar Rp150 ribu, para pendaki akan diantar langsung ke Terminal Mendolo. Perjalanan dengan bus kurang lebih akan memakan waktu sepuluh jam. Tapi tenang saja, dengan Rp150 ribu tadi, kita sudah mendapatkan bus dengan fasilitas yang terbaik. Kursinya empuk dengan sandaran kaki yang bisa diatur sesuka hati, full ac, ada tempat charger, plus gratis satu kali makan.
Namun, jika ingin naik kereta, kita bisa lewat Purwokerto, bisa juga lewat Yogyakarta. Sesuka hati saja, sesuai kenyamanan. Naik kereta hanya memakan waktu kurang lebih 5–6 jam. Tapi jika memilih naik kereta, berarti setelah turun di stasiun nanti kita masih harus melanjutkan perjalanan menggunakan bus, dan tetap turun di Terminal Mendolo, Kabupaten Wonosobo.

Dari Terminal Mendolo, kita bisa naik ojek atau pick up untuk sampai di basecamp, bayarnya Rp30 ribu per orang. Jika hanya jalan sendiri atau berdua, pakai ojek lokal juga bisa, tapi harganya lebih mahal dibandingkan naik pick up, yakni Rp50 ribu per orang.
Untuk sampai ke basecamp dari Terminal Mendolo membutuhkan waktu sekitar 45 menit kurang lebih, tergantung kecepatan sopir yang mengemudi, dan tergantung juga apakah kita banyak mampir atau tidak.
Memangnya bisa mampir-mampir?
Ya bisa, dong. Biasanya sopir yang mengemudi bahkan akan menawarkan langsung apakah kita mau mampir beli logistik di Pasar Mendolo atau tidak. Jika iya, si sopir siap menunggu sebelum kita jalan lagi.
Baca juga: Duka Menjadi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19
Sebenarnya perjalanan dari Terminal Mendolo ke basecamp Bowongso ini terhitung lumayan jauh, dan semakin ke atas, jalannya semakin miring dan berbatu, bikin pantat tepos. Hehe. Tapi tenang saja, suguhan pemandangan perkebunan tembakau yang hijau sepanjang perjalanan akan membayar kelelahan itu.
Bowongso memang terkenal dengan perkebunan tembakaunya. Sebagian besar warga desa sini menggantungkan hidupnya di sini sebagai petani tembakau. Dan memang, tembakau di sini mahal sekali. Barangkali itu karena pengolahannya yang super teliti oleh petani setempat, ditambah tanah subur yang tiada duanya. Pantas saja, kopi hitam khas Bowongso ini enak sekali rasanya. Kata orang-orang, tidak lengkap ke Bowongso jika tidak mencoba kopi hitamnya. Jadi, nanti kalau ke sana, harus coba kopinya, yaaa.
Baca juga: Pantang Menyerah Selesaikan Studi Meski di Tengah Pandemi
Oke, kembali ke topik.
Saat tiba di basecamp Bowongso, para pendaki wajib mengikuti “ritual” yang ada. Kita harus mengurus surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi) dengan mengisi formulir untuk masing-masing pendaki, serta mendaftar semua barang yang dibawa. Untuk tiket masuk, masing-masing pendaki hanya perlu membayar Rp20 ribu. Setelah itu, kita akan dibekali dengan peta dan handy talkie (HT). Peta ini yang akan menjadi penunjuk arah selama kita melakukan pendakian sehingga anti kesasar, sementara handy talkie akan menjadi sarana penghubung antarpara pendaki dengan penjaga di pos Bowongso jika ada hal-hal urgen yang harus dilaporkan.

Yang paling menarik, setiap pendaki juga dibekali dengan santan dan kopi yang dibungkus dalam plastik kecil. Kata si penjaga pos, masing-masing kami harus membawa ini sepanjang pendakian hingga turun lagi. Tidak boleh sampai hilang. Menurut kepercayaan masyarakat sini, santan dan kopi ini bisa membantu menjaga para pendaki yang notabenenya adalah “tamu”, dari gangguan-gangguan penunggu di Gunung Sumbing. Antara seram dan merasa aman, kalian tim mana jika diberikan “jimat” ini?

Selain hal-hal tadi, hal menyenangkan lainnya dari mendaki ke Gunung Sumbing via Bowongso adalah: kita punya pasukan ojek di sini. Jujur saja, perjalanan dari basecamp hingga gerbang pendakian memang tidak terlampau jauh. Tapi jalurnya itu, loh! Kita harus melewati rumah-rumah penduduk dan bentangan perkebunan yang seperti tak ada habisnya. Mana jalurnya berkerikil dan nanjak terus juga, sangat menghabiskan tenaga. Dengan pasukan ojek yang siap sedia, kita hanya perlu membayar Rp20 ribu, dan mereka akan mengantar sampai tepat depan gerbang.
Baca juga: Menyusuri Indonesia Sekaligus Bertahan Sebijak Mungkin di Tengah Pandemi
Jalur mendaki Gunung Sumbing via Bowongso juga terbilang cukup ramah. Ini hal menyenangkan selanjutnya. Dibandingkan dengan pendakian via Garung, pendakian via Bowongso tidak terlampau membuat dengkul lemas. Tapi, yaaa, tergantung fisik masing-masing pendaki juga, hehe.
Nah, bagaimana? Cukup tertarik dengan pendakian Gunung Sumbing via Bowongso? Sudah siap pergi mendaki ke Gunung Sumbing akhir pekan ini? (nik)