60DTK, Editorial – Setuju dengan jargon konsumen adalah raja? Jika iya, mungkin anda ketinggalan zaman. Dalam konteks manajemen, pelabelan ‘raja’ kepada konsumen merupakan bagian dari implementasi total quality manajemen yang berarti pelayanan maksimal guna mencapai kepuasan konsumen. Namun konsep ini agaknya perlu dikaji kembali sebab cenderung berat sebelah. Kenapa tidak? Sebagai seorang ‘raja’, sudah menjadi kodratnya konsumen mutlak harus mendapatkan pelayanan VIP. Dikhawatirkan stereotip semacam ini bisa memicu tindakan semena – mena. Entah sudah berapa banyak kejadian konsumen bertindak kasar kepada karyawan cuma karena persoalan kecil yang sifatnya persepsional.
Bukan bermaksud mendiskreditkan konsumen ataupun membangun sebuah opini bahwa perusahaan tidak perlu melayani pembeli secara ekstra. Karena faktanya benar bahwa konsumen adalah sumber pendapatan bagi perusahaan, sehingga penting bagi perusahaan untuk melayani mereka sebaik – baiknya. Tetapi yang perlu dipahami juga adalah konteks ‘raja’ tidak selalu berarti ‘penguasa’.
Baca juga: Cerita Dari Sampul Belakang & POTOH, Napas Terakhir Perang Ideologi
Konsep ini tidaklah salah jika dijadikan sebagai strategi marketing, tapi juga tidak sepenuhnya tepat sebab bisa menjadi bumerang yang dapat merugikan perusahaan. Status ‘raja’ kerap kali dijadikan senjata argumen bagi konsumen agar memperoleh pelayanan prima. Pernah dengar ada pembeli yang menawar barang secara sadis bukan? Sudah begitu, banyak protesnya pula, jadinya bikin pusing perusahaan. Fakta tersebut mengharuskan perusahaan berpikir kembali bahwa menempatkan konsumen sebagai ‘raja’ itu rasanya kurang sportif.
Meski begitu, tetap saja para pebisnis beramai – ramai latah dalam mempraktikkan konsep ini. Perusahaan dituntut harus bisa memastikan bahwa pelanggan puas terhadap segala skema pemasaran yang diberikan, atau pelanggan tersebut merasa senang terhadap apa yang diberikan perusahaan. Mencapai itu tidaklah mudah. Butuh usaha lebih untuk membentuk suatu perasaan senang dalam diri pelanggan, karena pola perilaku manusia yang berubah seiring perkembangan zaman, ditambah lagi dengan banyaknya perusahaan pesaing yang berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dengan skema pemasaran yang mudah dan disukai pelanggan. Seakan tiada opsi selain men-dewa-kan konsumen.
Baca juga: Suatu Penawar Untuk Kesalahan Memahami Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Di satu sisi, konsep ini justru membawa perusahaan cenderung menganaktirikan karyawannya. Terlalu berfokus pada konsumen, perusahaan lupa memprioritaskan karyawannya. Sejauh ini, upaya pemenuhan kepuasan konsumen selalu kontras dengan kepuasan kerja karyawan. Padahal, secara teoretis dikatakan bahwa kepuasan kerja karyawan berbanding lurus dengan kepuasan konsumen. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Indeks kepuasan konsumen malah bertolak belakang dengan kepuasan kerja karyawan.
Survei yang dilakukan oleh para peneliti menemukan bahwa tingkat kepuasan konsumen di Indonesia cenderung meningkat baik di sektor pelayanan publik maupun konsumen barang dan jasa. Sementara itu, lembaga konsultasi bisnis dan manajemen Amerika, accenture juga mencatat bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kepuasan dan kebahagiaan karyawan yang sangat rendah. 82 persen responden karyawan dari berbagai perusahaan di Indonesia mengaku tidak puas dengan apa yang mereka peroleh dari tempat kerja.
Baca juga: Monolog, Puisi, Dan Lagu Sendu Dalam Refleksi GESTAPU Di Akhir September
Hal ini mengindikasikan bahwa ada perlakuan sedikit tidak humanis oleh perusahaan terhadap karyawan, yang dikhawatirkan akan memicu gejala konflik dalam perusahaan. Temuan ini turut diaminkan oleh hasil riset yang dikeluarkan oleh Gallup yang merupakan Lembaga Konsultan di bidang manajemen sumber daya manusia, yang menemukan bahwa sedikitnya hanya 8 persen saja responden yang mengaku puas dengan pekerjaannya saat ini. Raihan ini membangun asumsi bahwa ada kesenjangan antara karyawan dengan konsumen. Padahal sejatinya, karyawan pun pantas diperlakukan layaknya raja (konsumen).
Menjelang peringatan hari buruh, meski di tengah pandemi seperti sekarang, bisa dipastikan kita akan tetap disuguhkan dengan sajian – sajian klasik ala buruh yang menuntut kesejahteraan. Hanya saja, bentuk aksinya mungkin sedikit berbeda. Yang tadinya di jalan, bakal pindah ke halaman media sosial. Aksi ini nantinya akan semakin mempertegas bahwa kondisi hubungan industrial di Indonesia sangat rapuh.
Baca juga: Berjuang Dengan Pena: Cara Perjuangan Ala Kartini
Ironisnya, di era industrial ini, karyawan yang seharusnya menjadi pusat kegiatan produksi, justru masih saja dianggap sebagai faktor pendukung. Seharusnya, karyawan dipandang sebagai modal utama. Sehingga fungsi karyawan bisa menembus batas stigma masyarakat yang menganggap karyawan hanya sebatas mesin hidup yang diperalat untuk menyediakan barang dan jasa.
Zeithaml dan Bitner menyebut ini sebagai transformasi posisi yang akan memengaruhi persepsi konsumen. Selain berperan sebagai pemasar, di mata konsumen, karyawan adalah perusahaan itu sendiri. Struktur pengelolaan sumber daya manusia di perusahaan pun perlu diubah, dari yang tadinya menganggap karyawan hanya sebagai resource sehingga rentan dieksploitasi menjadi aset yang harus diasah sehingga bertambah nilainya. Di sini, keterpaduan antara human resource management dengan human capital management sangat dibutuhkan.
Baca juga: Aksi Refleksi GESTAPU, Dan Kisah – Kisah Di Baliknya
Human Resource Management (HRM) dan Human Capital Management (HCM) oleh Dessler dan Kearns diartikan sebagai dua konsep pengelolaan manusia dalam organisasi yang memiliki definisi serupa, yakni tentang pengaturan aspek kekaryawanan dengan fungsi – fungsi manajemen, tetapi praktiknya berbeda. HRM lebih menonjolkan aspek motivasi dalam bentuk kompensasi (finansial dan nonfinansial), sedangkan HCM berorientasi pada pengembangan skill karyawan yang berlandaskan pada filosofi pembangunan manusia. Perbedaan lainnya, HRM memandang karyawan sebagai pendukung organisasi, sementara HCM melihat karyawan sebagai kunci organisasi.
Di Indonesia, yang menjadi tantangan bagi para manajer adalah menyeimbangkan kedua hal ini. Selama ini, kepuasan kerja karyawan selalu diukur menggunakan indikator utama, yakni gaji. Maka tidak usah heran, jika tingkat kepuasan kerja karyawan di Indonesia sangatlah rendah. Sebab sebanyak apapun gaji yang mereka terima, kalau tidak diimbangi dengan skill semisal pengelolaan keuangan, maka kepuasan kerja hanyalah parodi.
Baca juga: Berbisnis Opini Di Tengah Pandemi
Lihat saja, di setiap aksi demo buruh, isu utamanya tidak lari jauh dari persoalan kenaikan gaji. Itulah kenapa para top manajer juga mesti melakukan treat pada karyawan dengan konsep HCM. Dukungan pemerintah melalui kebijakan juga dalam hal ini sangat dibutuhkan. Alih – alih menyejahterakan buruh, pemerintah justru merilis rancangan undang – undang yang semakin menyudutkan posisi para karyawan dalam dunia industri, karena dinilai merampas hak – hak normatif karyawan.
Intinya, jika perusahaan ingin mendapatkan konsumen yang loyal, maka yang harus didahulukan adalah memperbaiki kualitas internal perusahaan itu sendiri dengan cara menciptakan kepuasan kerja karyawan. Tak perlu muluk – muluk seperti Google. Perusahaan kelas dunia ini terkenal dengan pelayanan super prima terhadap karyawannya. Bak seorang raja, sampai – sampai makanan siang buat karyawan sangat diperhatikan dan dijaga kualitasnya.
Baca juga: Postingan Instagram Dan Pemikiran ‘Liar’ Bersama Yuval Noah Harari
Para pebisnis bisa memulai dari hal terkecil seperti memperbaiki kultur organisasi. Profit oriented boleh-boleh saja, tapi ya coba pikirkan juga kesejahteraan “pelanggan di dalam”. How to treat employees like consumers…… bahkan seorang Kotler yang dijuluki Bapak Pemasaran pun dalam bukunya sangat menekankan bahwa untuk memuaskan pelanggan, maka karyawanlah yang harus diutamakan untuk dipuaskan. Jangan diperlakukan layaknya anak tiri, dibedakan – bedakan seperti di kisah bawang merah dan bawang putih. (rds)